"Aku minta maaf karena masih mencintai suami kamu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, akan selalu ada kali kedua yang dinamakan kesempatan. Aku gak akan melewatkan kesempatan itu, Lyora."
Lyora terbangun dari mimpi buruknya yang belakangan ini mengusik tidurnya. Bayang-bayang sang mantan istri suaminya kerap kali menghantui isi kepalanya. Sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah, Lyora mengelap butiran keringat yang membasahi keningnya. Entah mengapa dirinya merasa kepanasan, padahal suhu di kamarnya tidak kurang dari 16 derajat Celcius.
Saat ini apa yang terucap di mulut dan dirasakan hatinya sangatlah tidak sinkron. Isi hati dan pikiran Lyora selalu bertolak belakang. Semuanya membuat Lyora menjadi tidak karuan. Logika dan perasaannya kian berebut tempat untuk dipertahankan. Kini Lyora tidak boleh lagi bersikap egois. Dirinya sedang berbadan dua, ada nyawa lain yang harus ia jaga. Setiap kali akan mengambil keputusan, Lyora akan menitikberatkan pada keselamatan hidup sang buah hati yang kini menjadi prioritas utamanya. Lyora dituntut untuk selalu menjadi wanita yang kuat, karena jika keputusannya sudah bulat, maka Lyora akan memulai lembaran baru dalam hidupnya. Menjadi menjadi seorang Ibu dan seorang janda dalam waktu yang bersamaan. Bagi Lyora, akan lebih baik jika bayinya tidak mengenal sosok sang ayah yang bodoh itu.
Seperti kebanyakan orang, overthinking selalu menghampiri Lyora di setiap malam. Lyora butuh sesuatu untuk mengusir rasa cemasnya. Namun tidak ada siapapun yang memeluknya sambil mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tangan Lyora terulur untuk mengambil sebotol air minum yang biasa ia siapkan di atas nakas. Sialnya botol itu kosong karena Lyora lupa mengisinya. Mau tak mau ia harus ke dapur untuk mengambil air minum.
Netranya meneliti setiap sudut kamar karena tidak ia dapati Mirna di sampingnya, sosok yang menggantikan Bima menemaninya tidur di ranjang yang cukup luas ini. Apa mungkin Mirna juga terbangun dan sedang tahajud seperti biasanya? Masalahnya Lyora tidak tahu pukul berapa sekarang karena ponselnya disimpan Mirna. Seingatnya ini sudah hari ketujuh sejak dirinya tidak diizinkan mengakses apapun dari ponselnya. Demi menjaga kesehatan menantu dan calon cucunya, Mirna benar-benar menjauhi Lyora dari kejamnya dunia luar.
Saat Lyora hendak menuju dapur, ia mendapati Mirna yang sedang berdiri menghadap jendela. Pandangannya mengarah pada pemandangan malam yang disuguhkan dari lantai tujuh belas tempat mereka kini mengasingkan diri. Mertuanya sedang menelepon seseorang. Dari nada bicaranya, Lyora dapat menyimpulkan bahwa Mirna sedang serius dan sesekali bicaranya penuh penekanan atau dapat dibilang seperti sebuah ancaman dan peringatan.
"Tidak usah banyak tingkah! Kalau wanita sudah beraksi duniamu bisa hancur. Kamu mau jadi duda dua kali?"
"Kalau kamu serius mau berubah, bawakan kami surat perjanjian di atas materai. Pastikan hubunganmu dengan Aldilla benar-benar selesai!"
"Kalau perlu, adakan konferensi pers! Bongkar semua aib mantan istrimu dan bersihkan juga nama baik kamu!"
"Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Lyra dan bayinya, penyesalan kamu seumur hidup, Bim!"
"Lyra baik-baik saja tanpa kamu. Biarkan dia hidup tenang. Ibu juga akan memulai hidup baru dengan cucu Ibu."
"Silahkan kamu jalani hidup sesuai dengan pilihanmu!"
Lyora terpaku saat mengetahui siapa lawan bicara Mirna di telepon. Tangannya gemetar sehingga membuat botol minumnya terjatuh. Mirna cepat-cepat menutup panggilannya ketika mengetahui Lyora memergoki dirinya.
"Kamu sejak kapan disitu, Ly? Ada apa? Kamu sakit?" tanya Mirna cemas melihat Lyora yang pucat pasi.
"Bu, tadi Mas Bima ya?" Lyora tak menggubris apa yang dicemaskan Mirna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [ SELESAI ]
ChickLit"Aku dan kamu masih sibuk dengan pencapaian kita masing-masing, Bim. Kalau perasaan kita masih sama, kalau kita masih mau menunggu dan kalau kamu percaya jodoh tak akan kemana, lima atau sepuluh tahun kita bahas lagi perasaan ini." -Lyora Allona Wi...