Sebuah Pengakuan (18+)

33.2K 2.4K 75
                                    

"Nah, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!" seru laki-laki berambut pirang di ujung meja yang kini berdiri untuk menyambut kehadiran Bima.

"Sorry, gue telat," jawab Bima dengan santai padahal beberapa mata sudah mengamatinya dari jauh.

Di sebuah meja bundar di pojok ruangan, Bima memilih kursi paling ujung untuk menghindari paparan asap rokok yang mengudara. Lengan kemejanya telah ia gulung hingga siku dan telah ia longgarkan juga dasi yang mencekik lehernya dari pagi. Kalau bukan karena Evan yang memaksanya, Bima enggan untuk membuang waktunya yang berharga hanya untuk menghadiri farewell party yang menurutnya tidak penting.

"Mau nyindir sok sibuk tapi Kasogi beneran sibuk," ujar Evan yang kini duduk di sebelah Bima. Alih-alih mengambil sekaleng minuman memabukkan, Bima justru mengeluarkan sekaleng Milo dari sakunya. Hal itu membuat Bima semakin menjadi pusat perhatian teman-temannya.

"Hahaha.... bercanda lo, Gi? Masa minuman anak lo diembat juga?", ejek Riki sambil meneguk isi kaleng minuman berlogo banteng miliknya.

"Gue nyetir, Bro! Gak lucu kalo gue ketilang gara-gara nyetir sambil mabok," Bima enggan menanggapi serius jika hanya berujung adu mulut.

Evan yang melihat Bima mulai tak nyaman mencoba mengalihkan perhatian, "nanti Eveline dateng guys!"

"Hebat juga lo, Van! Bisa bikin Kasogi sama Eveline yang super duper sibuk ngumpul bareng kita," gantian Rio bersuara.

"Gue gak akan bikin kalian nyesel karena dateng malam ini. By the way, lo gemukan ya, Gi?"

"Susunya cocok tuh," jawab Riki yang kemudian diikuti gelak tawa yang lain.

Alunan musik yang menggema serta kelap kelip lampu disko membuat Bima sedikit tak nyaman. Belum lagi dirinya yang menjadi bahan olokan karena temannya merasakan banyak perubahan pada dirinya belakangan ini, lebih tepatnya ketika ia telah menikah dengan Lyora. Semuanya terjadi karena Bima mulai membiasakan diri untuk mengikuti gaya hidup Lyora yang jauh dari dunia malam.

"Sejak kapan lo berhenti nyebat?" tanya Riki heran ketika Bima menolak lintingan tembakau yang ditawarkannya.

"Ayolah, Gi! Sebatang doang anjir!" bujuk Riki lagi.

Bima tetap pada pendiriannya dan menolak rokok yang ditawarkan Riki. Ia tak peduli jika temannya menganggap dirinya cupu. Yang Bima tahu, Lyora sangat membencinya jika menghisap lintingan tembakau itu.

"Gi, kapan hari gue liat lo di rumah sakit. Pengen gue sapa tapi lo keburu masuk mobil. Ngapain lo?"

Syukurlah Evan kembali mencairkan suasana yang canggung di antara Bima dan Riki yang sedikit berselisih tadi.

"Nganter bini gue konsul ke Sp.OG. Lo sendiri ngapain di rumah sakit? Kena HIV?"

"Sialan lo!" umpat Evan sambil melempar kaleng kosong yang hampir saja mengenai wajah Bima, sementara temannya yang lain hanya tertawa. "Gue juga konsul, Bro!" lanjut Evan.

"Lo mandul?" tanya Riki asal.

"Bangsat! Gak gitu ya!!"

"Ya terus? Lo impoten?" Riki masih penasaran.

"Cewek gue konsultasi alat kontrasepsi yang aman dan nyaman. Kalian tau lah kalo gue enggak suka pake helm pas lagi nana nina. Kita berdua juga sepakat gak mau ada baby di hubungan ini."

"Wah, bajingan juga ya lo! Pengen enaknya doang tapi ogah tanggung jawab." protes Riki seperti tak terima.

"Ngajak cewek gue buat konsultasi ke ahlinya tuh salah satu bentuk tanggung jawab, Bro! Tolong bedakan bangsat sama bajingan, gue bukan keduanya, tapi mungkin salah satunya."

Kali Kedua [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang