Hari demi hari silih berganti. Terhitung sejak ungkapan perasaan Langit kemarin, keduanya sama sekali tidak berinteraksi satu sama lain. Baik secara nyata, maupun sosial media. Baik Senja atau Langit sekalipun, nampaknya sama-sama menghindar satu sama lain.
Hal itulah pula yang membuat Langit uring-uringan dengan sendirinya. Terbukti sejak berhari-hari lalu, emosi laki-laki itu terlihat tidak stabil dan tingkah Langit benar-benar membuat teman-temannya kuwalahan sendiri.
"Dika!" teriak Langit sambil menatap segelas es teh yang ada di tangannya. Ah, ralat, lebih tepatnya es batu yang di dalamnya sudah mencair karena didiamkan selama kurang lebih setengah jam. "Sini lo!" perintah Langit dengan nada tegas.
"Dik! Lo dipanggil si Langit, tuh!" Bintang yang kebetulan sekali baru datang terlihat menunjuk Langit dengan dagunya. "Samperin gih, dari pada nih basecamp ancur," lanjut Bintang.
Dika menghela napas lelah, sementara Rangga menepuk pundak laki-laki itu berusaha menguatkan.
"Siapin mental lo, ya, Nyet!"
Rangga melotot, kemudian dengan kekuatan penuh, laki-laki itu memukul tengkuk Dika dengan keras. "Yee, Si Bloon! Kan yang dipanggil elu!" kata Rangga tidak habis pikir.
Dika menurunkan bahunya lesu, "Oh, iya, lupa."
Rangga mendekat ke tempat Bintang duduk ketika Dika menghampiri Langit dan siap menerima ocehan dari Langit.
"Si Langit akhir-akhir ini emosinya suka meluap-meluap dari biasanya, ya? Atau cuma perasaan gue aja?" tanya Bintang setengah berbisik. Rangga menatap cowok di sampingnya ini, lalu mendengus dengan keras dan menatap Bintang dengan kesal.
"Gara-gara adek lo tuh!" balas Rangga dengan kesal, sebelum akhirnya cowok itu melotot dan menampar mulutnya sendiri ketika menyadari kecerobohannya.
Seketika Bintang langsung memusatkan atensinya kepada Rangga. "Kenapa lo jadi bawa-bawa adek gue?" tanya Bintang dengan nada tidak suka.
Rangga menggaruk pipi kirinya---merasa canggung. Duh, gue, 'kan, udah janji sama Langit, gak bakal kasih tau siapapun soal ini, batinnya merutuk.
"Anu, nggak gitu maksudnya, Bi," kata Rangga dengan gugup.
"Lo mau jelasin sekarang dengan detail sekarang, atau gue cukur jambul onta kesayangan lo itu?" ancam Bintang sambil melirik jambul di rambut Rangga.
Sepertinya rasa sayang Rangga terhadap jambul ontanya tersebut lebih besar dibanding rasa takutnya kepada seorang Langit Nathaniel Arisko. Terbukti, lelaki itu lebih memilih untuk menjelaskan kepada Bintang dari awal tentang insiden di mobil tersebut.
***
"Gue bilang kalo gue mau es teh, 'kan, sama lo?!" kata Langit menatap kesal ke arah Dika yang kini berdiri di hadapannya.
"Lah, ini es teh, Ngit!" ujar Dika sambil menatap segelas teh yang kini gelasnya berembun dari luar.
"Terus, mana esnya?"
"Ya, mana gue tau! Kan udah cair."
"Alah, alesan!" balas Langit sambil bersedekap dada dengan posisi duduk. "Bilang aja lo nggak ikhlas."
Dika menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sekaligus merasa kesal dengan temannya ini. Rasanya ingin sekali Dika memaki Langit saat ini. Tetapi, mengingat kebaikan Langit terhadap keluarga Dika, rasanya itu tidak mungkin.
"Nggak bisa jawab, 'kan, lo?!" gertak Langit kepada Dika.
Setelah mencoba bersabar, Dika menarik napas beberapa kali. "Ngit, mending makan dulu, yuk! Lo rese kalo lagi laper," kata Dika dengan senyum yang dipaksakan, lalu meletakkan minuman tersebut di atas meja---tepat di depan Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit untuk Senja
FantastikLangit Nathaniel Arisko, mahasiswa sekaligus anak dari pemilik kampus yang hobinya suka keluar-masuk club dipertemukan dengan Senja, seorang gadis yang terlalu misterius di mata Langit. Semua berawal dari Senja menyelamatkan seorang mahasiswa lain y...