38.

682 42 3
                                    

Kabar tentang Rama yang mencoba mendekati Senja---juga Langit yang menjadi rival lelaki berkacamata tersebut sudah menyebar luas di seluruh penjuru kampus.

Kabar panas tersebut juga sudah terdengar oleh Sang Primadona Kampus yang juga menjabat menjadi tunangan seorang Langit Nathaniel Arisko.

Dengan amarahnya, Rara berdiri di parkiran kampus, menunggu tunangannya datang. Sesekali ia mengibaskan tangan di depan wajahnya.

Setelah 20 menit, akhirnya yang ditunggu tiba---Langit dan antek-anteknya. Laki-laki itu berjalan dengan balutan jaket berwarna hitam---jangan lupakan kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya, menambah kesan cool nih bagi siapapun yang melihatnya.

Rara tersenyum sumringah, cewek itu menghampiri Langit karena dirasa lama. Saat sampai di hadapan Langit, respons laki-laki itu seperti biasa ; Terlihat jengkel dan hanya menatapnya datar.

Langit melepaskan kacamata, lalu menggantungkan benda itu di bajunya. Dia menatap Rara dengan perasaan yang jengah. Sambil bersedekap dada, Langit menyuruh teman-temannya untuk pergi duluan, biar nanti dia menyusul setelah urusannya dengan Rara selesai.

"Aku mau ngomong," kata Rara.

Langit menaikkan alisnya, "Ini lo lagi ngomong."

Rara mengabaikan ucapan Langit barusan. Dia menatap Langit yang jauh lebih tinggi dirinya. Rara yang memang selalu memakai baju crop ketat, membuat Langit sebenarnya bisa saja mengintip dengan mudah belahan dada Rara dari atas sana---mengingat Langit yang lebih tinggi dari perempuan itu---namun, Langit tidak berminat.

"Kamu lagi dekat sama perempuan itu?" Rara to the point.

Langit terkekeh. "Harus banget gue jawab?" Langit membalas dengan sebuah pertanyaan pula. Laki-laki itu berjalan melewati Rara sambil menghidupkan remote controlled sensor Bypass di mobil miliknya. Namun, Rara kembali menghadang laki-laki itu. "Aku nggak suka," kata Rara di hadapan Langit.

Langit tertawa mengejek, tangan laki-laki itu masuk ke dalam saku celana jeans-nya, sementara tangan yang lain mengusap dagunya pelan.

"Gue nggak butuh persetujuan lo." Begitu balas Langit.

Rara yang mendengar itu lumayan cukup kesal. Dia mengangkat tangannya, menunjukkan cincin yang melingkar di jari manis sebelah kirinya---menunjukkan cincin pertungan mereka kepada Langit.

"Tapi, aku masih tunangan kamu," kata Rara. Langit melakukan hal yang sama saat ini, bedanya tidak ada cincin yang melingkar di jarinya saat ini.

"Yah ..., kok punya gue gak ada, ya?" kata Langit. "Apa jangan-jangan hilang, ya?" Laki-laki itu seolah bertanya kepada Rara dengan nada menyesal yang dibuat-buat.

"Kamu ilangin cincinnya?!"

Langit mengedikkan bahunya. "Duh, Ra, mungkin jatuh di kamar mandi kali, ya. Tapi, lo tenang aja, nanti kalo ketemu gue kabarin lo, kok." Langit berjalan mendekati pintu kemudi mobilnya. "Awas, Ra, gue buru-buru!" Setelah itu Langit benar-benar masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan Rara yang masih tetap berdiri di tempatnya. Cewek itu mengepalkan tangan. Dia berjanji pada dirinya sendiri, kalau dia tidak bisa mendapatkan Langit, begitupun juga dengan yang lain. Adil, bukan?

***

Bintang terlihat sibuk di apartemen Senja. Lelaki itu sedang berkutat dengan alat-alat masak, sementara si tuan rumah, hanya duduk manis sambil memperhatikan kakaknya dari meja makan yang letaknya terhubung dengan dapur.

Bintang memang pintar masak, beda dengan adiknya. Laki-laki itu harus masak agar adiknya itu mau makan.

Setelah selesai, Bintang menyajikan makanan itu di meja makan. Senja tersenyum kecil. Akhir-akhir ini Bintang sering meluangkan waktu untuknya.

"Ayo, cepat makan. Kakak ada urusan sama temen-temen Kakak di rumah Langit," kata Bintang.

Senja berdecak. "Iya. Ini juga baru matang," kata perempuan itu menjawab dengan sewot.

Bintang tersenyum, dia mengelus rambut adiknya dengan sayang. "Makan yang banyak biar pinter."

Senja tidak menanggapi. Perempuan itu sibuk dengan makanannya. Menu hari ini terong bakar dan sambal bawang, sederhana memang---namun Senja terlihat begitu menikmati makanannya. Sesekali perempuan itu memuji masakan kakaknya.

Bintang hanya tersenyum saja melihat tingkah Senja saat ini. Sesekali, laki-laki itu menegur Senja yang tersedak saat terburu-buru menghabiskan makanannya.

Tatapan Bintang beralih pada pergelangan tangan Senja yang tersingkap. Goresan itu masih terlihat, walau samar. Rasa bersalah kembali menggerogoti ulu hatinya. Namun, tidak ada lagi ucapan yang ke luar dari bibir laki-laki itu. Dia hanya bisa diam, dan menyesali semuanya---walau terlambat.

Dia kira selama ini bersama Denis dan keluarganya, Senja baik-baik saja. Namun, Bintang salah besar. Adiknya terlalu pintar memanipulasi keadaan---bahkan dirinya pun terkecoh.

Dalam hati, dia tidak akan membiarkan laki-laki manapun di masa depan menyakiti Senja. Bahkan, jika Langit ingin memiliki adiknya, maka laki-laki itu harus berhadapan dengan dirinya. Bintang ingin tahu, sejauh apa perasaan Langit untuk Senja.

Lama dengan lamunannya, Bintang sampai tidak menyadari kalau Senja sudah selesai dengan acara makannya---bahkan perempuan itu sudah mencuci piring dan membereskan meja makan.

Bintang tersadar, dia melihat jam di ponselnya lalu berpamitan kepada Senja. "Kakak harus pergi sekarang, Langit pasti udah nungguin Kakak." Cowok itu menatap Senja. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"

Senja tersenyum menenangkan. "Sana pergi," kata Senja.

"Aduh, maaf banget, ya. Sebenernya Kakak juga penginnya di sini, tapi---"

"Kak," tegur Senja, sekali.

"Apa? Kakak juga bingung, kenapa hari ini harus banget ngumpul? Padahal tiap hari juga ketemu---"

"Kak, sana pergi!" tegur Senja---dua kali.

"Iya-iya. Tapi, nanti kalo ada apa-apa kabarin, ya. Kalo kau ke mana-mana juga---"

"Kak!" Tiga kali, baiklah Senja mulai jengah. Dia berkacak pinggang, menatap laki-laki itu dengan garang. "Aku udah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Udah, sana pergi! Nanti Langit ngomel."

Bintang mendesah. Baiklah, untuk perpisahan terakhir dia memeluk adiknya. "Nanti kalau ada apa-apa hubungi Kakak, ya," kata Bintang di sela pelukan mereka, Senja berdeham sebagai jawaban. Kemudian setelah itu Bintang benar-benar pergi dari sana.

***

Bersambung.

Next?

Langit untuk SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang