41. Privilege

1.5K 60 10
                                    

Tiga hari yang lalu adalah hal yang cukup mengejutkan bagi Bulan. Jikalau sebelum itu dirinya hanya mendengar rumor bahwa ibu kandung sahabatnya membeda-bedakan kasih sayang di antara kedua anaknya---kini dia menemukan satu fakta baru, bahwasanya wanita paruh baya tersebut bahkan tidak layak untuk menyandang gelar seorang ibu.

Setelah insiden terakhir kali mereka bertemu, kini keduanya kembali untuk bersantai di sebuah cafe yang berbeda dari yang sebelumnya. Ini cafe baru, dan mereka yakin Diva tidak akan ke sini hari ini.

Menyesap secangkir teh hangat di tangannya, Bulan menatap sedih ke arah Senja yang duduk tepat di depannya. Penampilannya tidak lebih baik dari terakhir kali pertemuan mereka. Bedanya, kali ini Senja mengenakan masker putih. Ah, jangan lupakan kacamata yang bertengger di hidungnya untuk menutupi matanya yang masih terlihat sembap, sepertinya anak itu menangis selama berhari-hari.

Bulan meletakkan cangkir teh hangatnya ke saucer plate. "Kenapa lo diem aja dipukul kayak gitu?" Bulan menopang dagu. "Dia emang Ibu kandung lo sih, tapi, 'kan, dia udah keterlaluan," sambungnya.

Senja menatap iris Bulan lurus. "Seperti kata lo barusan, karena dia Ibu gue," balas perempuan itu, masih dengan masker yang melekat di area mulutnya.

Bulan memiringkan kepalanya. "Tapi ..., paling enggak lo bisa nangkis serangannya. Gue yakin, lo dengan mudah bisa membaca itu semua."

"Biar dia puas aja, Lan." Senja tersenyum kecil di balik maskernya.

"Lo nggak ada niatan buat jahatin balik Mama lo? Bukan balas dendam, i mean, sekali aja buat ngapokin beliau atas perbuatannya selama bertahun-tahun."

"Dia Mama gue, Lan," balas Senja, mengulang kalimat yang sebelumnya. "Bahkan setelah kejadian ini, gue masih berpikiran buat ngasih kado untuk ulang tahunnya bulan depan."

Bulan berdecak, merasa tidak puas dan geram sendiri. "Lo sama sekali nggak ada perasaan benci, gitu, ke Nyokap lo?" Cewek itu uring-uringan sendiri. "Gue heran, ya, kata Denis lo itu selalu melakukan berbagai cara biar keluarga lo nerima lo lagi. Tapi sayangnya, mereka nggak ada satu-pun yang mau menghargai usaha lo. Apa, sih, yang lo harapkan? Mau Mama meluk lo? Seenggaknya kenapa lo nggak coba buat lost contact sama mereka dan hidup sendiri aja?" cecar Bulan panjang lebar.

"Karena gue sayang, Lan." Mata Senja mulai berembun di balik kacamatanya. "Dia Ibu kandung gue. Menyakitkan memang, tapi gue nggak akan menyerah. Kalau orang lain yang berani sentuh gue, mungkin bakal habis orang itu. Tapi ini?" Senja tersenyum kecut, dia melepas masker dan kacamatanya. "Ini adalah Mama gue. Dia harus gue kasih privilege---hak istimewa. Jadi, mau dia bunuh gue sekalipun, gue akan tetap sayang."

Bulan tercenung di tempatnya, kalimat Senja barusan memang tergolong tidak terlalu panjang, namun, maknanya sangat dalam. Bulan tahu, Senja mencintai ibunya melebihi apapun.

Sembari mengelus punggung tangan Senja, Bulan berkata, "Tapi, luka harus dibalas luka, 'kan?" Kening Bulan sedikit berkerut. Dari nada bicaranya berubah menjadi sebuah permintaan. Sementara Senja masih menggeleng tegas, cewek itu kekeuh pada pendiriannya. "Gini, deh. Oke, jangan lakukan apapun untuk mereka. Tapi, buat menyelamatkan mental lo, diri lo, dan jiwa lo ini, please ..., jauhi segala sesuatu yang berkemungkinan untuk bikin lo mati secara perlahan."

Senja tersenyum, matanya berembun, kali ini dia menggenggam tangan Bulan yang ada di punggung tangannya. "Gue nggak bisa, Bulan. Selagi gue masih napas, setiap langkah gue ini diiringi oleh restu dari Nyokap gue," tutur Senja.

"Tapi, dia mungkin nggak mendoakan lo dengan baik ke Tuhan. Bahkan mungkin dia menyumpah serapahi anaknya sendiri, atau bahkan---"

"Lan." Senja memotong pembicaraan perempuan itu. "Kalau Mama gue udah salah, kenapa gue harus membuat diri gue salah di mata publik juga? Kalau orang salah, gue nggak perlu ikut salah juga, 'kan? Ibaratnya gini, ada orang yang masuk sumur, apakah gue juga harus ikut masuk juga?" Senja menggeleng sendiri atas pertanyaannya.

"Ini Mama gue, Lan. Seberapa kuat keinginan Mama buat bunuh gue, sekuat itu juga keinginan gue buat tetap sayang sama dia."

Dalam setiap perkataannya, terdapat keyakinan di dalamnya. Walaupun sakit, tapi kenyataannya memang dia harus tetap berbakti kepada Ibunya, tetap mendoakannya, dan berusaha untuk mengikis setiap jarak yang ada---walaupun Senja sendiri tahu, usahanya selama bertahun-tahun dipatahkan begitu saja. Entah sudah berapa banyak air mata, pun sudah berkali-kali kecewa akan tetapi tujuannya tetap sama---memperbaiki hubungannya dengan keluarga, setidaknya dengan ibunya meskipun itu sulit.

Bulan menyerah, dia kalah berargumen. Semua yang dikatakan Senja benar adanya. Selama ini yang dia kenal, apapun yang ke luar dari mulut Senja bersifat mutlak dan cewek itu konsisten dalam setiap apa yang dia ucapkan.

Sembari meringis saat menatap pelipis Senja, Bulan berdo'a, semoga semua hal baik akan segera hadir di kehidupan sahabatnya. Sudah cukup derita yang dia terima, tapi Senja memang pandai menutupi semuanya.

***
Langit menatap lurus iris laki-laki yang saat ini ada di hadapannya. Pandangan mereka terhalang oleh sebuah kacamata yang bertengger di hidung laki-laki berkaca mata itu. Langit menghela napas sambil bersedekap dada. Cowok itu selalu menganggap remeh laki-laki di hadapannya ini yang tidak lain adalah Rama.

Bagaimana mungkin dia nyaris dikalahkan oleh cowok culun itu perihal mendekati seorang perempuan? Dari sini, Langit mempelajari sesuatu, bahwa tidak baik meremehkan seseorang yang akan menjadi rivalnya.

"Lo suka Senja?" Langit to the point. Dia sedang tidak ingin berbasa-basi.

"Sayang," balas Rama, cowok itu menjawab dengan yakin. Tidak akan takut walau akhirnya nanti dia yang akan babak belur akibat pengakuannya ini. Sedangkan Langit menajamkan matanya, bahkan perasaan Rama sudah beralih menjadi rasa sayang, ya?

"Jauhi dia." Sebuah perintah dari Langit menginstrupsi Rama, seakan menyuruhnya untuk mundur padahal Rama belum bergerak apapun untuk mendapatkan hati perempuan yang saat ini mereka perebutkan.

Rama tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya khawatir Langit akan memukulnya habis-habisan setelah ini. "Lo takut Senja akan memantapkan hatinya buat gue?" balasnya.

Langit menoleh ke kiri, kemudian berdecih pelan. Dia melayangkan tatapan meremehkan dari atas sampai ke bawah, menelisik penampilan cowok cupu itu.

"Lo itu nggak pantes buat Senja," kata Langit. "Jadi, mending lo mundur dari sekarang. Karena gue lagi malas untuk bersaing."

"Kalau gitu lo yang harusnya mundur," jawab Rama. "Karena cewek kayak Senja harusnya diperjuangkan mati-matian. Dan kalau lo nggak sanggup, silakan tinggalkan area peperangan."

Langit terkekeh. "Perang, huh?" Dengan gerakan cepat cowok itu memukul rahang Rama hingga ia tersungkur di bawah kaki Langit karena serangan yang tiba-tiba itu.

Langit berjongkok, menarik kerah kaos Rama lalu berbisik tepat di depan wajahnya. "Biar gue tunjukin arti perang yang sebenarnya, Rama," kata Langit. Kemudian belum sempat ia melayangkan pukulan kedua, sebuah suara mampu menghentikan pukulan maut darinya.

"Mau lo hajar sampe dia mati, pun, kalo adek gue nggak cinta sama lo juga percuma."

Langit berdecak mendengar suara itu. Dia melepaskan cengkraman tangan pada kerah baju Rama, kemudian Langit membenarkan posisi tubuhnya.

Bintang yang baru saja datang bermaksud menghentikan Langit untuk menghabisi orang lain lagi. Raga memberitahunya bahwa Langit saat ini berada di gudang lama kampus bersama Rama. Mendengar itu, Ia menghampiri Langit yang menatap jengkel ke arahnya.

"Seenggaknya adek lo nggak akan bisa jadi milik siapapun kalo gue singkirin semua yang nyoba deketin dia," balas Langit. "Lagian dia duluan kok yang ngajak perang." Langit menunjuk ke arah Rama yang sedang berusaha untuk berdiri.

Alis Bintang terangkat sebelah, "Dengan nyingkirin semua cowok yang deketin dia, terus lo mau jadiin dia perawan tua?" Bintang nyolot tidak terima.

Langit menginstrupsi Rama untuk pergi dari sana sebelum dia berubah pikiran. Detik selanjutnya dia menyandarkan tubuhnya di tembok.

"Seenggaknya gue bisa jadi opsi terakhir kalau udah nggak ada cowok-cowok lagi yang mau deketin dia," balasnya sambil mengedikkan bahu.

"Kalau gitu gue yang bakal bunuh lo duluan!"

***

Bersambung.

Langit untuk SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang