Malam minggu kebanyakan dihabiskan bersama pasangan bagi muda-mudi masa kini. Berbeda dengan Senja, perempuan itu menghabiskan waktu bersama Bulan dan Rama saat ini. Ketiganya berkumpul hanya untuk menghabiskan waktu bersama.
Senja dengan tank top berwarna hitam terlihat cantik dengan cardigan berwarna biru putih. Senja memesan coffee milk---favorite-nya. Rasa dari biji kopi robusta memang selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali, apalagi dengan kolaborasi susu full cream di dalamnya.
"Permisi, Kak. Silakan pesanan untuk satu coffee milk ice, matcha latte, dan salted caramel ice-nya satu," ujar seorang waitress yang menghampiri mereka dan repeat order setelah menyajikan menu. Ketiganya kompak mengiyakan dan mengucapkan terimakasih kepada waitress tersebut.
Senja mengikat rambutnya, dia meletakkan ponselnya di atas meja. "Jadi ..., apa yang mau kita obrolkan sekarang?"
Rama terkekeh. Dia mengaduk caramel ice-nya sambil berpikir. "Hmm, apa, ya?" balasnya bertanya.
Senja merotasikan matanya. Dia menoleh ke arah Bulan. "Gue pernah denger lo muter lagunya Taylor Swift. Lo swifties, ya?" kata Senja.
Bulan mengangguk antusias. Perempuan itu melebarkan senyumnya, sangat tertarik dengan topik obrolan ini. "Lo juga, 'kan? Gue paling suka lagu Back to December, sih. Walaupun nggak relate sama gue, tapi liriknya deep banget."
Senja terkekeh. "Agak bangsat maksud lo?"
Bulan meringis. "Kalau lo?" Bulan bertanya kepada Senja. "Lagu favorit lo apa?"
Senja menopang dagu, dia sedikit berpikir. "Hmm ..., Fearless?" balas Senja, lalu kemudian perempuan itu mengedikkan bahu. "Banyak sih yang gue suka dari lagu-lagu dia."
"And i dont know how but with you i'd dance in a storm in my best dress fearless." Bulan mengepalkan tangannya---mengubah kepalan tersebut seolah menjelma menjadi sebuah mic. Bulan menyanyikan potongan lagu dari Fearless. Membuat Senja dan Rama terkekeh pelan sambil bertepuk tangan.
"Hayo. Lo lagi relate, ya?" kata Bulan, dia iseng menggoda Senja.
"Emang lagunya tentang apa?" Rama menyahut.
Keduanya sontak menatap Rama bersamaan sebelum akhirnya berkata kompak, "Kepo!" balas mereka.
Rama mendengus, kemudian tersenyum kecil. Rama membetulkan posisi kacamatanya yang melorot. Dia merasa terabaikan berada di tengah-tengah dua perempuan ini. Namun, tak masalah. Melihat senyum Senja selepas ini sudah lebih dari cukup baginya. Senja banyak berubah, perempuan itu sedikit lebih banyak berbicara daripada awal pertemuan mereka.
Di sela-sela gurauan mereka, seseorang mengguyur kepala Senja dengan segelas minuman. Bulan berteriak shock. Dia berdiri, dan bersiap untuk memaki sang pelaku.
"Tante sakit jiwa, ya? Ngapain dateng-dateng langsung nyiram temen saya?!" Bulan berusaha membersihkan kepala Senja dengan tisu.
Melihat siapa yang menyiramnya, Senja hanya berdiri di tempatnya tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. Karena Senja yang tidak memunculkan reaksi apapun, sang pelaku akhirnya menampar Senja dengan keras---akibatnya perempuan itu terhuyung ke belakang karena tidak siap menerima tamparan itu.
Bulan berteriak histeris sekali lagi, Ia memaki Senja karena perempuan itu hanya diam seperti patung. Sementara reaksi Senja masih sama, perempuan itu tidak berkutik dari tempatnya.
Rama berdiri tepat di hadapan pelaku tersebut, berusaha menghalau takut-takut jika pelaku tersebut menyerang Senja lebih brutal lagi.
"Tante ini sebenernya siapa sih? Kenapa menyerang temen saya secara tiba-tiba?" kata Rama, dia meneliti pelaku tersebut. Sementara si pelaku tidak menggubris ucapan Rama, dia berusaha menggapai Senja yang berada tepat di belakang tubuh Rama.
"Dasar anak sialan!" maki pelaku itu. "Kenapa kamu masih hidup?!" sentaknya.
Bibir Senja bergetar, dia diam tak bergeming di tempatnya saat ini. Sementara Bulan sibuk menanyakan siapa pelaku itu kepada Senja.
Jantung gadis itu berdegup sangat cepat. Dia kehilangan kata-kata, bahkan nyaris kehilangan keseimbangan karena lututnya yang melemas. Senja hampir lupa caranya bernapas ketika dipertemukan kembali dengan orang yang paling ia hindari saat ini.
"M-mama ...," lirih Senja pelan, suaranya menjadi bergetar seperti menahan tangis. Seketika Rama menoleh ke arahnya, begitu juga dengan Bulan yang dari tadi sibuk menanyakan pertanyaan yang sama karena tak kunjung mendapat jawaban.
Merasa Rama sedikit lalai, Diva maju dan menampar Senja sekali lagi. Kali ini ditambah dengan Diva yang memukul bagian kepala Senja menggunakan tas branded miliknya. Senja tidak melawan, dia hanya berusaha menghindar.
Sadar akan kelalaiannya, Rama segera menarik Diva agar cepat menjauh dari Senja. Namun, wanita paruh baya itu keras kepala, dia seakan belum puas menyiksa anak kandungnya di muka umum. Bukan hanya memukul dan menampar, bahkan wanita itu tidak segan menyumpah serapah putrinya sendiri hingga mengundang perhatian banyak orang.
Melihat kakaknya mulai kuwalahan, Bulan berinisiatif untuk memanggil security setempat. Sepeninggal Bulan, Senja mundur perlahan sambil mengusap air matanya kasar.
Senja tahu, cepat atau lambat dia pasti akan bertemu dengan mamanya. Namun, dia tidak menyangka jika harus dipertemukan secepat ini. Sungguh, semuanya terasa mendadak dan begitu cepat, bahkan Senja belum menyiapkan mental untuk bertatap muka dengan mamanya.
Dia keluar dari coffee shop tadi, Senja berlari mengikuti entah ke mana kakinya akan pergi.
Senja terus berlari, mengabaikan banyak pasang mata yang menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Dia bahkan meninggalkan tas dan kendaraannya di coffee shop tersebut.
Kenapa harus sekarang? Senja bahkan masih berusaha untuk berdamai dengan dirinya dulu sebelum akhirnya akan bertemu dengan keluarga nantinya. Namun, semuanya kacau malam ini.
Dia terus berlari di pinggir jalan raya tanpa menghiraukan kendaraan yang berlalu lalang dan terkadang mereka membunyikan klakson saat Senja nyaris saja membahayakan dirinya sendiri.
Sebuah motor berhenti di belakang Senja, namun Senja tak menyadari hal itu, dia masih saja terus berlari. Sementara sang pemilik motor---laki-laki itu sedikit berlari menyamakan langkah kakinya dengan Senja.
Saat sudah dekat, laki-laki itu menarik pergelangan Senja dari belakang secara mendadak, akibatnya Senja tanpa sengaja menubruk dada bidang lelaki itu dengan keras.
Senja berteriak dan nyaris melayangkan pukulan sebelum tahu siapa yang menariknya.
Menyadari bahwa dia mengenal laki-laki itu, Senja memohon, dia hampir berlutut jikalau laki-laki itu tidak menahan tubuhnya.
"Tolong," kata Senja. Nada bicaranya nyaris tidak terdengar karena Senja mengucapkan dengan lirih dan tertutup oleh bisingnya kendaraan. "Tolong bawa gue pergi, atau gue yang akan pergi sendiri yang jauh sampai gak ada seorang pun yang bisa menemukan gue."
Laki-laki itu meringis, dia menatap prihatin ke arah Senja yang terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Matanya sembab, bedak dan maskaranya bahkan sudah mulai luntur.
Laki-laki itu merengkuh Senja ke dalam pelukannya. Dia mendekap erat perempuan malang itu, seolah menyiratkan bahwa perempuan itu aman dalam pelukannya.
Senja meremat jaket laki-laki itu. Senja meraung dengan keras dalam dekapan laki-laki itu. Dia membalas pelukannya dengan erat.
"Ada gue," bisik laki-laki itu pelan. Tangannya mengelus surai Senja dengan lembut. "Gue udah bilang, 'kan, lo nggak bisa pergi ke mana-pun tanpa seijin gue. Dan lo akan tetap di sini, karena ada gue dalam setiap langkah lo," kata lelaki itu.
***
Bersambung.
Bagaimana part hari ini?
Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit untuk Senja
FantasiaLangit Nathaniel Arisko, mahasiswa sekaligus anak dari pemilik kampus yang hobinya suka keluar-masuk club dipertemukan dengan Senja, seorang gadis yang terlalu misterius di mata Langit. Semua berawal dari Senja menyelamatkan seorang mahasiswa lain y...