3. Ruang Musik

15.1K 1.3K 122
                                    

"Seseorang menangis saat membawakan sebuah lagu, bukan berarti dia mengalami hal yang sama dengan lirik yang ditulis oleh sang pencipta. Tetapi melainkan mencoba untuk masuk dan merasakan apa yang dirasakan oleh sang pencipta itu sendiri."

Happy Reading! ❤

Senja berjalan di sepanjang koridor kampus dengan pandangan lurus ke depan. Mata kuliah terakhirnya baru saja selesai, yang itu artinya saat ini dia sudah seharusnya pulang. Namun, Senja merasa malas untuk pulang, dia hanya takut di rumah akan mendengar kalimat-kalimat tajam dari kedua orang tuanya. Walaupun sudah terbiasa dengan kalimat itu selama bertahun-tahun, namun tetap saja, Senja hanyalah seorang anak biasa yang tidak selamanya harus berpura-pura menjadi kuat.

Saat ini tujuan utama Senja adalah ruang musik. Mungkin di dalam ruang musik dia bisa mengistirahatkan pikirannya sejenak.

Setelah sampai di depan pintu ruang musik, Senja menghela napas pelan, lalu membuka pintunya secara perlahan. Mata bulat hazelnya menelisik di setiap sudut ruangan, untuk memastikan hanya ada dirinya di ruangan ini. Setelah dirasa hanya ada dia seorang diri, Senja melangkahkan kaki ke dalam dan menutup pintunya.

Langkah kaki jenjangnya perlahan mendekati piano yang tertutup oleh sebuah kain hitam. Setelah menyingkirkan kain itu, Senja menatap takjub piano yang ada di depan matanya karena terlihat sangat terawat. Pasti mereka merawatnya dengan baik, begitu pikirnya.

Gadis itu menjatuhkan dirinya di atas kursi yang memang sudah disediakan untuk mahasiswa yang ingin bermain musik di sana.

Senja menghela napas pelan, lalu jarinya mulai bermain di atas tuts piano, menciptakan sebuah melodi yang indah. Matanya memejam secara perlahan menikmati alunan musik yang diciptakannya sendiri sebelum mulutnya ikut bernyanyi.

Aku kedinginan berdiri di atas istana yang retak ....
Gemelutuk mulutku, getir berkata lirih

Adakah cinta yang sempurna di dunia?
Adakah hati yang tak bisa luka?
Apakah ku pantas bahagia?

Sejuta penyair di dunia ini, aku hampiri
Bertanya apakah cinta sejati itu ada?
Pantaskah aku marah pada takdir?
Berteriak lantang  melawan nasib
Sedangkan ku hanyalah manusia ....

Senja begitu menikmati lagu yang dibawakannya kali ini. Matanya sampai beberapa kali terpejam, kemudian terbuka lagi karena terlalu menghayati. Bahkan, Senja tak menyadari ada seseorang yang melihat dan mendengarnya di ambang pintu yang berdecak kagum.

Namun demi Engkau ....
Namun demi cinta ....
Demi janji kepada Maha Memberi Cinta ....

Aku relakan kau bersama dengan yang lain
Dan sebelum ku pergi
Ku ingin kau bahagia ....

[Air Mata Surga-Dewi Sandra]

Tanpa sadar air matanya mengalir saat menyelesaikan sebuah lagu yang menyentuh hati.

"Wah ... ternyata lo orangnya pinter main musik juga, ya?" ujar seseorang yang melihat permainan piano indah milik Senja.

Senja menoleh. Tak jauh dari tempatnya saat ini, terlihat Langit sedang tersenyum padanya. Lelaki itu berdiri tegak dengan kaos hitam miliknya dan bersedekap dada. Senja dengan cepat menghapus air matanya saat tersadar Langit berjalan ke arahnya.

Karena sedang tidak ingin berdebat lebih lama dengan Langit, Senja berdiri dan pergi dari tempatnya. Namun, lagi-lagi langkahnya kurang cepat. Langit berhasil menahan lengannya saat ini.

"Lo nangis?" tanya Langit dengan nada mengejek.

"Bukan urusan lo!" Senja menghempaskan kasar tangan Langit dan menatapnya tajam.

Langit terkekeh, "Kenapa? Masalah asmara? Ditinggal karena perjodohan atau perselingkuhan? Atau lo yang ninggalin dia?"

Senja menarik napas dalam dan menghembuskan napas perlahan. Ternyata, berbicara dengan langit membutuhkan kesabaran tinggi. Gadis itu menghadap ke arah Langit dan sedikit memajukan langkahnya untuk menghadap lelaki itu.

"Lo tahu satu hal, Kak? Seseorang---"

"Gue bukan Kakak lo!" tukas Langit tajam.

"Tapi lo Kakak tingkat gue!" bantah Senja tak mau kalah.

"Pokoknya gue gak mau lo panggil Kakak!"

"Fine! Oke, Langit. Lo harus tau satu hal, seseorang menangis pada saat membawakan sebuah lagu, bukan berarti dia mengalami hal yang serupa dengan apa yang ditulis oleh sang pencipta," ujar Senja menatap manik mata Langit.

"Tapi karena orang itu mencoba masuk dan mendalami makna lirik yang ditulis oleh sang pencipta," lanjutnya menjauhkan tubuh dari Langit.

Langit terperangah, lalu tersenyum tipis, "Such a long great answer."

Senja memutarkan bola malas saat mendengar ucapan Langit, lalu berjalan mendekati pintu.

"Oh iya, Senja ...." panggil Langit saat melihat Senja menggapai knop pintu berhasil membuatnya berhenti dan mendengus kesal. Terdengar oleh indra pendengarannya, derap kaki langkah Langit berjalan mendekat ke arahnya.

Senja dapat merasakan Langit berjarak sangat dekat tepat di belakangnya, bahkan Senja dapat merasakan hembusan napas hangat lelaki itu di lehernya saat helaian rambutnya disingkirkan oleh Langit.

"Satu hal juga yang harus lo tahu. Gue penguasa di sini. Jadi jangan coba-coba mengulangi kesalahan yang sama seperti waktu itu. Mungkin waktu itu gue diem karena lo masih junior dan belum tahu siapa gue. Tapi kalau sampai itu terjadi kembali? Lo akan tahu akibatnya bermain-main dengan seorang Langit Nathaniel Arisko."

Fiuhh ....

Senja merinding di tempatnya saat Langit meniup pelan lehernya. Dia berbalik badan saat merasa Langit sedikit menjauh.

"Lo ngancem gue?" Langit menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan Senja lantas sedikit terkekeh sinis.

"Kalau iya, kenapa?" ujarnya balik bertanya dengan tatapan menantang Senja.

"Gue gak bakal lakuin apapun selagi lo gak menginjak harga diri orang lain!" sergah Senja menatap iris mata hitam itu tanpa takut.

"Well, gue cukup takjub dengan keberanian lo. Tapi gue peringatin sekali lagi, jangan pernah ikut campur urusan pribadi gue! Kalau sampai itu terjadi---"

"Kalau sampai apa?!" tukas Senja semakin terlihat menyebalkan dihadapan Langit.

"You know what I mean. Beasiswa lo taruhannya," bisik Langit kepada Senja kemudian berlalu dari hadapan gadis itu.

Bersambung.

Langit untuk SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang