14. Pagi yang Runyam

11.3K 1K 168
                                    

Happy Reading!
Jangan tinggalkan jejak, ya!❤

***

"Bagaimana keadaan kamu, Senja?"

Sebuah kalimat yang terlontar dari Vera dengan nada lembut ketika Senja baru saja memasuki ruang makan di rumah Denis.

"Seperti yang Bunda lihat, Senja baik," jawabnya sambil mengambil sepotong roti di atas meja.

Vera tersenyum lembut. Dia berjalan menghampiri Senja sambil meletakkan semangkok soto ayam di atas meja. Satu tangannya menggenggam tangan hangat milik Senja, sementara satu yang lainnya mengelus pelan rambut surai milik keponakan yang jauh lebih tinggi darinya itu. Matanya sedikit berembun kala mengingat perlakuan tidak terpuji dari kakak dan kakak iparnya.

Rasanya, Vera ingin sekali menampar keras atau mencabik kedua wajah dari orangtua Senja. Apalagi ... ketika Bintang tidak lagi menyayanginya.

"Bunda jangan nangis, udah tua, nanti tambah jelek." Suara datar dari Senja mampu menarik Vera dari lamunannya. Wanita itu memejamkan mata ketika tangan lembut Senja menghapus air mata yang tanpa sadar berjatuhan melalui pipinya.

"Jadi, kalau Bunda nggak nangis, berarti Bunda cantik dong?"

Senja memasang ekspresi seperti sedang berpikir. "Mphh ... nggak sih."

"Ish, kamu ini!" Vera terkekeh pelan sambil menghapus air matanya sendiri. "Bunda sedih, karena kamu selalu diperlakukan tidak adil."

Vera menunduk dan terisak kembali. Setiap malam dalam keheningan, Vera selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sesakit apakah rasanya menjadi Senja?

"Senja baik-baik aja, Bunda. Berhenti lebay deh!"

Vera terkekeh geli dalam sela isak tangisnya ketika Senja mengucapkan kalimat mengejek. Gadis itu merengkuh pelan tubuh tantenya agar masuk ke dalam pelukan.

Bohong.

Senja tidak baik-baik saja, dan tidak akan pernah baik-baik saja. Namun, kenyataan itu biarlah Tuhan dan dirinya saja yang tahu seberapa kali ia terjatuh dalam jurang kegelapan itu. Tidak perlu ada orang lain di dalamnya, cukup dirinya saja.

Kedatangan Denis berhasil mencairkan suasana. "Ekhem! Ada momen apa nih nangis-nangisan begini?" celetuk Denis yang masih bertelanjang dada, masih memakai boxer. Tubuh lelaki itu sedikit disenderkan pada tiang tangga. Dia berjalan menghampiri bundanya dengan tampang menyebalkan, membuat Vera mual seketika.

Senja mendengus, "Lo selalu ngerusak suasana."

"Yang suka ngerusak suasana itu elo!" Denis menyentil keras kening Senja, gadis itu mengaduh kesakitan. "Lo pikir gue gak denger apa, percakapan kalian dari tadi?!" lanjut Denis berkacak pinggang.

"Stop! Ini udah jam berapa? Mandi sana!" Vera berkacak pinggang, menatap garang putra tunggalnya.

"Jadwal kuliahku kosong, Bun," ujarnya sambil duduk santai di atas kursi.

"Emang kalau mandi harus kuliah dulu?!"

Denis berdecak malas. "Bunda bawel deh, kayak emak-emak!"

Vera semakin melotot dibuatnya. Jika digambarkan dalam ilustrasi kartun, mungkin kepalanya akan mengeluarkan dua tanduk berwarna merah dan juga kepulan asap melalui lubang hidungnya.

"Udah, Sayang, jangan marah-marah." Brama---ayah Denis, baru saja datang dari kamar. Pria itu sudah lengkap dengan setelan kantornya. Setelah mengecup mesra pipi sang istri, Brama duduk di kursi tempatnya untuk makan.

"Eh, ada Si Manis Senja, Ayah baru sadar loh," ujarnya bergurau.

Senja menatap datar sang paman yang biasa dipanggilnya ayah. "Hm, mungkin Ayah harus ganti kacamata," ujar Senja sambil duduk di samping Denis. Brama tertawa geli. Keponakannya ini ada-ada saja.

Langit untuk SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang