40. Falling

838 53 2
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya!
Happy Reading 💗

***

Langit dan Senja duduk di bangku yang tersedia di depan apotek. Ternyata saat Diva beberapa saat lalu memukul dengan tasnya, sepertinya pelipis Senja terkena resleting tas mamanya---terbukti dengan luka goresan yang terpampang jelas di sana.

Langit menghembuskan napas kasar, sementara Senja masih diam dengan sisa tangisnya. Cowok itu melepaskan jaket kulitnya, lalu memakaikannya untuk Senja. Langit tidak mau bertanya apapun saat ini, melihat Senja yang kacau dengan tatapan kosongnya membuat cowok itu merasa iba.

Langit membuka air mineral, kemudian menuangkannya di atas kapas. Tangannya bergerak untuk membersihkan luka di pelipis Senja. Sesekali Langit melihat ekspresi Senja, takut-takut cewek itu merasa kesakitan.

Namun ternyata yang ia dapat adalah, Senja tidak bereaksi apapun selain hanya menatap lurus ke depan dengan air mata yang masih saja mengalir.

Baru kali ini Langit melihat Senja setidak berdaya ini dengan mata kepalanya sendiri. Langit masih ingat betul bagaimana Senja meraung di pelukannya dan berkata ingin pergi yang jauh. Namun, tentu, Langit tidak akan membiarkan Senja pergi begitu saja.

Tidak ada percakapan di antara keduanya, dinginnya malam mulai menusuk kulit mereka saat ini.

Langit menempelkan plester di pelipis Senja sebagai tanda ia sudah selesai mengobati perempuan itu.

"Gue nggak pinter ngobatin orang, jadi cuma gue kasih air sama plester aja," kata Langit sambil melirik plester yang dimaksud. Cowok itu ikut menghadap ke depan---persis seperti Senja saat ini.

Tidak ada jawaban dari Senja. Perempuan itu terlihat hampa dan nyaris seperti tidak ada harapan untuk hidup.

Lama keduanya saling mendiamkan, suara panggilan dari ponsel Langit berhasil memecahkan keheningan. Langit membuka ponselnya, dia menunjukkan nama yang tertera dari ponsel itu.

"Abang lo nih," kata Langit. Cowok itu meminta ijin kepada Senja. "Gue boleh angkat?"

Hening. Tidak ada jawaban dari Senja. Langit menghela napas lagi. "Kalo diem, berarti boleh," sambungnya.

"Halo?" Langit mengawali pembicaraan di teleponnya.

" ... "

"Hmm ..., gue udah tau," balas Langit malas.

" ... "

Langit melirik Senja lagi. "Ya, ini anaknya sama gue."

" ... "

"Dia emang keliatan kacau, sih. Tapi, lo tau dari mana tentang ini?"

" ... "

Langit berdecak, dia terlihat kesal sepertinya mendengar ucapan Bintang dari sebrang sana.

"Udahlah, dia aman sama gue. Kalo ada apa-apa lo boleh cari gue nantinya."

Setelah mengucapkan itu, Langit memutuskan panggilan sepihak, mengabaikan Bintang yang mungkin langsung menyumpah serapahi dirinya dari seberang sana.

"Bintang nanyain lo." Dan Senja masih tetap tidak bergeming dari tempatnya. "Tapi gue nggak ngasih tau lokasi kita sekarang."

"Hmm, thank's," balas Senja akhirnya.

"Lo tadi ke luar sama Rama?"

Kali ini Senja meliriknya sekilas. Demi Tuhan, sebenarnya dia sangat tidak tertarik dengan pertanyaan Langit saat ini.

"Bertiga," jawab Senja seadanya.

"Jadi bener?" Senja mengangguk singkat sebagai balasan, Langit mendengus kasar.

"Setelah ini mau ke mana?" Langit bertanya karena jam sudah semakin larut dan mereka berada di depan apotek kurang lebih selama 2 jam. Tidak mungkin, 'kan, mereka menginap?

"Mati," balas Senja seadanya.

Langit menyentil kening Senja. "Lo gak boleh mati sebelum lo menyelesaikan tanggung jawab sebagai asisten gue."

Senja menatap matanya. "Cuma tinggal sebulan lagi, 'kan?" tanya cewek itu. Dia menatap Langit dengan bibir yang bergetar. "Berarti setelah itu gue bisa pergi?"

Langit terdiam, tiba-tiba atmosfernya menjadi sedikit menegangkan. Cowok itu tidak lagi menatap Senja, melainkan menatap lurus ke jalanan. Tatapannya terlihat kecewa, dia menghela napas. "So ... Am I useless?" kata Langit sambil bersedekap dada dan menyandarkan punggungnya.

Senja tetap diam, tidak merespons apapun, membiarkan bisingnya jalanan yang berbicara di antara mereka.

"Lo tau?" Langit masih menatap lurus ke arah jalanan. "Gue selalu mengawasi gerak-gerik lo dari awal kita ketemu, seperti yang lo ketahui. Setelah tau apa yang terjadi di hidup lo, gue selalu berusaha buat lo senyum, biar lo nggak nangis terlalu sering di belakang kampus kita." Dia menjawab atas pertanyaannya sendiri.

"Nggak cuma gue, Denis dan yang lain juga berusaha jagain lo. Dan ..., ini balasannya?"

Mati-matian Senja menahan bibirnya yang bergetar. Namun, tidak sepatah katapun ke luar dari gue. Ada banyak jawaban atas pertanyaan Langit. Dia bukannya tidak menghargai usaha mereka, tetapi ..., ah, sudahlah. Bahkan kerongkongannya terasa berat untuk mengatakan sebuah kalimat.

"Tapi ..., kayaknya sia-sia, ya?" Dia menoleh menatap Senja. Cowok itu tersenyum kecut. "Kalo gitu nggak perlu nunggu sebulan lagi, mulai sekarang lo bebas. Dan bisa pergi kemanapun lo mau."

"Jadi, lo mau ninggalin gue juga?"

Langit menghidupkan rokoknya. Cowok itu mengisap nikotin tersebut dan mengepulkan asapnya sambil terkekeh pelan. "Bukannya lo yang minta?"

Napas Senja tercekat. Air matanya kembali luruh saat Langit beranjak berdiri dari kursinya. Maka, cepat-cepat Senja menarik tangan laki-laki itu dari tempat duduknya, dan beralih memeluk pinggang Langit.

Senja menenggelamkan wajahnya di perut cowok itu. Dia menangis, sementara Langit membiarkan kaosnya basah begitu saja.

Bodoh rasanya jika Senja masih ingin tetap pergi. Dia meraung, namun suara tangisnya teredam perut Langit.

"Maaf," bisik Senja pelan. Langit menunduk, menatap perempuan di bawahnya yang sedang mendongak ke arahnya, matanya terlihat sembab dan basah karena air mata. Langit mengusap air mata itu, dia tidak bisa melihat perempuan menangis.

Langit menghela napas sambil mengelus sorai perempuan itu dengan lembut. "Iya," balasnya pelan.

Sebenarnya dia marah setelah mendengar ucapan Senja. Sudah sejauh ini, Langit selalu mengupayakan melindungi perempuan itu dari siapapun, begitupun dengan orang-orang di sekelilingnya, namun Senja malah memilih untuk pergi.

Akan tetapi, Langit tidak bisa marah. Hatinya luruh begitu saja saat Senja berbisik kata maaf beberapa saat lalu. Dia balas memeluk kepala Senja yang masih saja menempel di perutnya.

"Jangan biarin gue pergi, ya? Sekeras apapun gue minta," kata Senja, matanya menyorot Langit dari bawah yang dibalas senyuman oleh lelaki itu.

Langit mengangguk, sebelah tangan cowok itu mengisap rokoknya, lagi. "Lo nggak boleh pergi ke mana pun tanpa seijin gue. Dan gue nggak akan pernah ngasih lo ijin."

Senja semakin mengeratkan pelukannya. Perasaannya menghangat. Rasanya, sangat nyaman memeluk laki-laki ini. Entah sejak kapan semuanya dimulai, tapi sepertinya ... Senja juga mulai jatuh ke dalam pesona laki-laki itu.

Untuk sekali ini saja, bisakah Senja egois?

Bisakah Senja mati-matian mempertahankan Langit nantinya?

Jika bisa, maka Senja akan terus mempertahankan Langit sampai titik darah penghabisan. Mungkin tidak masalah jika semua orang pergi dari hidupnya, tapi tidak untuk Langit.

***

Bersambung.

Halo!

Gimana part hari ini?
Untuk part ini segini dulu ya.

Next?

Langit untuk SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang