29. Amarah Gyanza

19.3K 2.3K 326
                                        

Jangan lupa share cerita ini ya! Rekomendasikan ke anak, ibu, bapak, kakek, nenek, adik, cucu, ponakan, cicit, tante, om, pacar, teman, sahabat, mantan,  selingkuhan kalian. Oke?

Biasanya pikiran pemuda itu akan berkelana pada masa kelabu dalam ruang sempit atau bentuk penyiksaan lain yang membuatnya tidak bisa pergi terlelap dan beberapa pil obat akan menenangkan pikiran kelabunya itu.

Namun, kali ini berbeda, bukan kenangan kelabu yang tidak bisa menbuatnya tertidur, tetapi gadis itu. Gadis yang jauh didalam lubuk hatinya ia pedulikan.

Lebih dari peduli yang selalu ia ingin enyahkan. Selalu. Tak terhitung berapa kali ia ingin menghancurkan perasaan semu yang membuatnya berpusat pada gadis itu.

Perasaan semu yang ia tidak ketahui dan tidak bisa ia jelaskan.

Berbanding terbalik dengan keinginannya untuk tidak peduli. Gyanza justru mengambil jaket hitamnya dan membawa motor sport hitam membelah jalanan pada pukul sepuluh malam. Menuju rumah si biang masalah.

"Gyanza? Ada apa malem-malem kesini?" tanya Aviraz sesaat setelah membuka pintu.

"Vanilla."

"Oh, kamu cari Vanilla." Aviraz cukup tahu jika Gyanza sosok yang tidak banyak omong. Entah memang seperti itu atau enggan berbicara."Ke kamar dia aja langsung, oiya kalo lewat kamar om jangan berisik ya nanti dia ngamuk lagi."

Gyanza mengangguk lantas menuju kamar Vanilla di lantai dua. Bukan karena sering kemari ia hafal seluk beluk rumah ini. Ingatannya cukup mengingat detail rumah ini meski hanya sesekali kemari karena beberapa urusan yang penting.

Bagi orang seperti Gyanza. Jika hal tersebut bukan hal yang penting dan menguntungkan maka berurusan dengan hal tersebut tidak menjadi tujuannya.

Ia membuka kenop pintu bercat putih yang sangat elegan. Melihat punggung Vanilla yang sedang duduk di meja riasnya.

Deretan foto diatas kasur gadis itu mencuri perhatian Gyanza. Ada sembilan foto perempuan yang Athaya ada di salah satu di antaranya.

Vanilla tersentak ketika seseorang mencekiknya dari belakang. Ia tersenyum remeh memandang Gyanza melalui kaca meja riasanya,"Ada masalah?"

Nada bicara Vanilla kelewatan santai ketika cekikan Gyanza seperti akan menghabisi nyawanya.

"Dia benar salah satu mainan lo?" geram Gyanza dengan kobaran api yang tersirat di kedua matanya.

Dengan kesusahan Vanilla mengangguk. Gyaza melepas cekikan itu menyeret kasar rambut Vanilla dan mendorong Vanilla dengan kasar hingga gadis itu tersungkur keras di lantai.

Vanilla menantap tajam Gyanza,"What are you doing?!"

Gyanza berjongkok di dekat kaki Vanilla. Tatapan dingin dan aura mengintimidasi membuat Vanilla membeku. Walau biasanya Gyanza memang menyeramkan kini laki-laki itu seribu kali lipat menakutkan.

"Killing you."

Gyanza meremas kasar luka di kaki Vanilla.

"AAAKKKKHHH!!!" jerit Vanilla kesakitan. Luka yang sudah terjahit itu kini menganga lebar hingga bercak merah menutupi putihnya perban.

Vanilla meringkis, menjadi lemah dan kalah sama sekali bukan dirinya. Dengan sinis ia menatap Gyanza,"Kenapa hal ini membuatmu marah?! Look at that!" Vanilla menunjuk deretan foto perempuan di atas tempat tidurnya,"Selama ini kamu tidak pernah mempermasalahkannya sekalipun!"

"Yes, any other girl besides her, touch her, you die." Gyanza menatap tepat pada bola mata Vanilla. Wajah datar laki-laki itu sangat kontras dengan Vanilla yang kesakitan.

(Ya, gadis lain selain dia, sentuh dia, kamu mati.)

Vanilla mengumpat melihat pintu yang tertutup dengan kondisi kamarnya yang kedap suara.

Vanilla menatap remeh Gyanza,"You love her? Oh demon, that's a weakness."

(Kamu mencintai dia? Oh iblis, itu kelemahan)

Gyanza bangkit kini kakinya yang menggantikan tangannya memberi rasa sakit pada luka Vanilla. Menginjak hingga gadis itu harus memejamkan mata menahan rasa sakit bagai tusukan beribu kali di kakinya.

Oh ini lebih menyakitkan dari pada tusukan pisau Athaya padanya.

"Jangan pernah menyakitinya lagi. Bereskan semua kekacauan yang lo buat atau lo mati Vanilla. Gue bisa ngebunuh lo tanpa jejak. You really know." desis Gyanza menahan kobaran amarah di hatinya untuk meledak, lantas Gyanza memberi injakan terakhir dengan keras.

Gyanza berbalik hendak membuka pintu. "Never touch my girl again!" seruan penuh tekanan itu adalah ancaman terakhir sebelum ia pergi yang bukan main-main. Faktanya Gyanza bukan orang baik. Dunia yang kejam melahirkan jiwa yang kejam sepertinya. Ia mungkin terlihat layaknya orang normal, faktanya ia sama gilanya dengan Vanilla.

(Jangan pernah sentuh gadisku lagi)

Bedanya Vanilla suka bermain licik menyakiti seseorang demi kepuasannya sendiri, tetapi Gyanza akan menyakiti siapapun yang mengusik kehidupannya.

•~•~•

Bombom menegukan ludahnya, rasa takut melihat Gyanza dengan raut muka yang tidak bersahabat di depan pintu rumahnya cukup membuat bulu kuduknya merinding.

Ah, Bombom jadi melayangkan ingatannya. Dulu ia pernah membuat Gyanza kesal dan berakhir tangan kirinya patah, tetapi hal itu tidak membuat sisi jailnya hilang pada Gyanza.

"Abang ganteng ngapain ya?" gurau Bombom berusaha menutupi rasa merindingnya.

Bombom menatap heran Gyanza menyodorkan selembar kertas. Sebuah cek senilai 100 juta.

Mata bombom terbelak,"Bu–at gue?"

Siapa yang tidak kaget diberi uang 100 juta secara mendadak?

"Alden, lo."

Bombom menggaruk belakang kepalanya,"Maksudnya apaan dah? Lo lagi bagi-bagi sedekah gitu?"

"Jemput Athaya. Antar sampai rumah dengan aman." desis Gyanza.

"Kenapa engga lo aja?" Bombom heran. Ia tahu kekacauan di sekolah sebab gosip itu sudah menyebar ke seluruh sekolah bahkan Ibu kantin di sekolahnya pun tahu gosip seorang siswi di bawa ke kantor polisi karena percobaan pembunuhan lantas sesaat kemudian sebuah pemikiran melintas di kepala Bombom,"Yaampun kalo suka mah engga usah ge–akh!" Gyanza menonjok perut Bombom.

Bombom memegang perutnya kesakitan,"Ampun deh, iya gue laksanakan komandan."

"Tutup mulut sama dia." tekan Gyanza.

Bombom mengangguk-angguk dengan cepat tidak ingin ditonjok kedua kalinya.

Gyanza hendak menyalakan mesin motornya sesaat setalah pria itu menaiki motornya. Namun, ucapan Bombom membuatnya mematung.

"Gue mungkin keliatan kaya anak bego, tengil, mata duitan tapi gue tau lo, Za." nada bicara Bombom berubah menjadi serius,"Lo engga akan pernah nolongin orang, oh lebih tepatnya lo engga pernah nolongin siapapun." Bombom berdehem karena keterdiaman Gyanza,"Athaya, lo udah kenal dia dari lama kan? Jauh sebelum Athaya masuk diantara kita lo udah kenal dia, bahkan gue pernah liat lo merhatiin cewek itu di kantin yang gue pikir itu cuma angin lalu se–" ucapan Bombom terhenti karena Gyanza sudah melacukan kencang motornya.

Dugaanya pasti tidak salah lagi bukan?

<bersambung>


AthayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang