17. Memori Pahit

18.1K 1.9K 338
                                    

Athaya menatap Gyanza yang terbaring di sofa. Lalu matanya beralih meneluzuri segala arah-Rumah yang terlalu besar untuk seorang diri.

Athaya bersimpuh di samping sofa, meraih tangan Gyanza yang menjuntai ke bawah lantai. Ia meraih, mengambil kapas yang ia sudah tuang alkohol untuk membersihkan luka goresan itu.

Gyanza tetap diam, bahkan meringkis untuk menunjukan rasa sakit pun tidak ia lakukan. Athaya menekan luka itu dengan keras. Gyanza langsung melepaskan tanganya dari pegangan Athaya.

Athaya terkekeh,"Kirain engga berasa, diem aja sih." Athaya meraih kembali tangan tersebut.

Dengan teliti ia mengobati luka tersebut sampai ia menggulung perban untuk menutupinya. Luka yang cukup dalam, tetapi tidak perlu sampai dijahit-sepertinya.

Athaya ingin bertanya tentang permen tersebut, tetapi ia urungkan karena menurutnya Gyanza tidak akan menjawab pertanyaan remeh itu.

Athaya beralih mengobati luka di kaki Gyanza dan di buku-buku jarinya, lalu mengoles salep memar pada luka memar yang ada pada wajah dengan pahatan sempurna itu. Kemudian, ia menempelkan cool fever di dahi Gyanza. Gyanza? Tetap diam bagai batu.

"Selesai!" Seru Athata,"Lo udah makan? Kalo belum, makan dulu, biar lo bisa minum obatnya."

Gyanza tidak mengubris, ia malah bangkit dengan mengabaikan rasa sakit di telapak kakinya, ia melangkah menuju anak tangga.

Athaya mendengus dan beranjak, keras kepala ditambah gengsi laki-laki itu adalah kombinasi menyebalkan.

Athaya mengekori Gyanza,"Pergi." Ujar Gyanza melirik Athaya dengan sorot tajam yang mengekorinya menaiki anak tangga.

"Lo minum dulu obatnya, abistu baru gue pulang."

Gyanza tidak menjawab, laki-laki itu memasuki kamarnya, Athaya hendak ikut untuk memaksa Gyanza minum obat, tetapi langkahnya terhenti setelah Gyanza menutup dengan keras pintu kamarnya. Hampir membuat Athaya menabrak pintu karena tidak memperhatikan gerakan Gyanza dan malah asik menelusuri sudut-sudut rumah dengan matanya.

"Makan dulu, Gyanza!" Suruh Athaya dari balik pintu."Gue bikinin makanan, tunggu ya!"

Athaya pun berbalik menuju lantai pertama untuk mencari dapur dan berharap ada bahan yang bisa ia pakai.

Dilain sisi, di dalam kamar, kobaran amarah kembali menelusuk masuk ke dalam hati Gyanza. Ia menatap barang yang ia bisa lempar untuk meredam amarahnya. Tidak ada satupun barang pecah belah yang bisa ia lempar karena semuanya sudah berserakan di lantai.

"Shit!" Umpat Gyanza sembari memejamkan mata dan merebahkan diri.

Gyanza memejamkan matanya, ingatan itu kembali masuk ke dalam pikirannya.

"Gyanza, Hannah mulai sekarang engga tinggal di sini lagi, Gyanza harus berani, oke? Gyanza juga harus mandiri, jangan nangis ya. Dino yang jaga dari luar kalo dia tau Gyanza nangis, nanti kena hukuman." Perempuan muda dengan rambut hitam dan wajah lugu untuk berujar pada anak laki-laki berusia lima tahun.

"Kenapa Hannah pergi? Gyanza takut sama Dino, dia jahat." Ujar polos bocah berusia lima tahun.

"Maafin Hannah ya, Hannah cuma ikutin perintah, Hannah engga boleh tinggal disini karena Gyanza udah berumur lima tahun, Gyanza di suruh tinggal disini sendiri." Ujar Hannah penuh iba, tidak tega memberitahu hal tidak masuk akal tersebut.

Lima tahun, bukan usia yang patut untuk dituntut mandiri. Hanya orang gila yang melakukan itu pada anaknya.

"Hannah bakal datang tiap pagi, siang dan sore buat makan sama beres-beres Gyanza sampai usia Gyanza tujuh belas tahun Hannah cuma bakal dateng buat beres-beres aja."

AthayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang