20. 45 Days

17.9K 2.2K 197
                                    

Athaya menjatuhkan makanan di tangannya, tadi ia melihat sosok perempuan yang memperkenalkan diri dengan nama Hannah menangis tersedu di ruang tamu rumah Gyanza.

"Gyanza, dia sudah tahu segalanya. Dia pasti tersiksa sekarang ini." Hannah menangis,"Saya bersalah, tolong bawa Gyanza kembali, jangan biarkan dia pergi terlalu jauh."

"Kata penjaga orang terakhir yang datang, Vanilla dan temannya." Lanjut Hannah, Athaya tidak tahu maksud ucapan Hannah. Tetapi, melihat tangisan penuh sendu itu, Athaya tahu sudah ada sesuatu yang tak beres.

Athaya menelphone Vanilla berulang kali, tetapi tidak diangkat. Athaya memutuskan ke rumah Vanilla dengan bertanya alamatnya pada Alex yang juga menuntut penjelasan, ia abaikan dulu.

•~•~•

"Lo pasti tau dimana Gyanza kan? Kasi tau gue kalo dia baik-baik aja." Tanya Athaya tidak sabaran.

Vanilla duduk di sofa depan Athaya meminum tehnya dengan tenang,"Dia engga baik aja."

Athaya bangkit,"Lo jangan becanda disaat kaya gini, maksud cewek bernama Hannah itu apa?"

Athaya tahu sesuatu buruk bisa saja terjadi, melihat rumah Gyanza berantakan tadi bahkan jauh lebih berantakan dari sebelumnya. Lebih buruknya, Gyanza tidak ada dirumah.

Hannah bahkan bilang air di kolam berubah warna bercampur darah Gyanza. Hannah bilang rasa frustasi Gyanza pasti ada dititik tertinggi. Laki-laki itu sedang terluka tetapi memilih mengenai luka itu dengan air. Rasa perih yang diharapkan mengalihkan gundahnya hati.

Athaya berjalan cepat ke dapur Vanilla, mengambil pisau, berjalan kedekat Vanilla dan mengarah pisau itu ke leher Vanilla yang duduk tenang."Gue tau pikiran cewek kaya lo engga bisa di percaya. Jujur sama gue dimana Gyanza hah?!"

"Tusuk gue dulu?" Sinis Vanilla."Kenapa lo peduli banget? Mau dia mati pun bukan urusan lo."

"Sialan! Jangan bilang..."

"Ya, gue menyarankan dia mati."

Athaya menggelengkan kepalanya tak percaya, terlebih tidak ada emosi apapun yang Vanilla tunjukan, seolah itu bukan lah perkara besar.

"GILA! LO NYURUH ORANG BUAT MATI, VANILLA!!!"

Vanilla mendorong Athaya,"Iya, dan apa masalahnya? Kalo itu bisa bikin dia engga kesakitan lagi, gue baik dong? Gue bahkan ngasi dia sesuatu yang cuma bunuh dia dalam lima belas menit."

Athaya menatap Vanilla tidak percaya, Athaya tahu Vanilla sedikit tidak biasa pemikirannya, tetapi ia salah, bukan sedikit, melainkan terlalu tidak biasa.

"Lo gila! Gak waras! Yang lo maksud temen lo, Vanilla! Sahabat lo dari lama, lo engga merasakan simpati apapun hah?!"

"Justru itu simpati gue! Tahu apa lo Athaya! Tanpa gue, lo engga akan ada diantara kita!" Vanilla bersidekap,"Gue tau penderitaan dia! Lo engga tahu apapun engga usah ikut campur!"

Athaya melempar pisau itu ke depan melewati samping wajah Vanilla, gadis itu tetap memasang wajah angkuh, tidak kaget."Penderitaan apa? Sampai lo lebih milih dia buat mati hah!?" Hardik Athaya mencengkram baju dress Vanilla.

Vanilla menyentakan itu,"Lo engga tahu gimana Gyanza waktu kecil! Lo emang tahu hah rasanya?! Gyanza sejak kecil engga tahu siapa orang tuanya! Dia disiksa tanpa alasan jelas! Dia masih kecil buat lewatin itu semua sendirian! Dia bahkan engga tahu yang namanya kasih sayang. Selama ini dia nahan rasa sakit buat jawaban. Sekarang jawaban itu malah nampar dia sama fakta yang engga dia sangka."

AthayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang