Salah satu hal yang paling menyakitkan ketika sudah terlalu lama menangis hingga mata bengkak dan pada akhirnya tidak mampu meneteskan air matanya lagi.
Mata Athaya terasa begitu sakit hanya untuk sekedar meneteskan air mata di pemakaman adiknya. Hatinya seolah membeku bahkan ketika sang Ibu Sara dan Ayah Hans yang merupakan orang tua kandungnya memeluk dirinya. Semua terasa terlambat.
"Maafin Papa." Athaya tidak bergeming ketika Sang Ayah berujar dengan tulus padanya.
"Kamu mau pulang sama papa? Biar kamu engga sendiri."
Athaya menatap lurus ke depan tidak menoleh pada Ayahnya yang berada disampingnya.
Andai ucapan itu terucap beberapa tahun lalu. Semuanya mungkin tidak akan menjadi seperti ini.
Athaya melihat keluarga baru ayahnya dan juga ibunya yang hadir dengan pakian serba hitam berlambang duka yang menurutnya tidak ada artinya.
Siapa yang paling kehilangan disini?
Hanya Athaya. Tujuh belas tahun ia hidup dan selama itu juga hanya ada Alin disisinya.
Athaya yakin guratan sedih di mata ibunya ataupun ayahnya hanya akan berlangsung hari ini. Besok mungkin mereka sudah akan lupa bukan? Mereka bahkan tidak pernah menemui ia ataupun Alin selama ini, hal tersebut tentu tidak membuat ikatan mereka sebesar itu bagi Athaya. Tidak akan ada kenangan manis yang bisa mereka rindukan maka tiada tangis jika teringat karena pada dasarnya memang tidak ada apapun.
Gyanza sejak tadi menahan amarahnya untuk mengamuk di suasana duka ini. Ia begitu kesal melihat orang tua Athaya. Ia tidak tahu pasti namun apapun yang membuat Athaya bersedih akan menjadi musuh baginya. Sekalipun orang tua gadis itu atau bahkan dirinya sendiri.
"Mama pulang dulu ya." ucap Sara dengan serak pada Athaya yang masih terduduk di samping makam.
"Athaya kamu bisa ke rumah papa kalo kamu mau." ucap Hans. Pria paruh baya itu menatap pusaran putrinya dengan sesal seumur hidup. Mungkin setelah ini ia akan mendapatkan balasan atas semua hal yang sudah terjadi. Ia begitu abai pada dua anaknya.
Gyanza menatap tajam Hans. Hans tersenyum melihat itu. Sedikitnya ia lega ada seseorang bersama putrinya.
Athaya melihat suster Karen yang duduk di bersimpuh di pusaran adiknya sembari menyeka air mata yang terus menetes. Selain dirinya ada Suster Karen yang benar-benar kehilangan.
~¤~
Gyanza merapikan rambut Athaya yang sedikit berantakan. Gadis itu tertidur dimobil setelah dengan sabar Gyanza menunggu Athaya lelah berada di tempat terakhir adiknya. Gyanza tidak banyak bertanya atau berbicara karena ia tahu Athaya hanya ingin di temani saat ini dan itulah yang ia lakukan.
Gyanza membuka pintu mobilnya lalu berjalan ke samping mobil dan membukanya. Gyanza menggendong Athaya dengan menyelipkan tangannya di lipatan bawah kaki gadis itu dan dibahunya. Lantas membawa Athaya menuju salah satu kamar tamu di rumahnya.
Dari yang Gyanza dengar, Suster Karen pulang ke rumah neneknya dan Gyanza tidak ingin Athaya sendiri dirumah. Maka ia membawa Athaya ke rumahnya.
Gyanza membaringkan Athaya di atas kasur. Dahinya berkerut melihat wajah Athaya yang nampak letih dan murung. Mengikuti kata hatinya Gyanza mengambil sebuah tisu basah di kamarnya lalu kembali ke kamar dimana Athaya berada.
Gyanza duduk di samping Athaya yang terbaring. Ia menggulung lengan bajunya lebih dulu dan kemudian mengusap wajah Athaya dengan tisu basah. Dengan penuh kehati-hatian ia membersihkan tiap inchi kulit wajah Athaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Athaya
Roman pour AdolescentsTEENFICTION - DARK - SWEET [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Athaya Lilly Kalinara. Gadis kuat, tanguh, pemberani, baik hati, bijak dan dewasa sempat terkukung dalam suatu hubungan tidak sehat dengan seorang Kennan Abaranaka karena suatu alasan ia menjadi so...