Chapter 07

1.8K 173 0
                                    

Rintik hujan turun begitu deras membasahi permukaan. Aku yang mendengar itu bernafas lega, sebab aku berhasil sampai rumah saat sebelum hujan tersebut turun. Aku menenteng  dan membawa tas belanja tadi ke dapur, dimana ada Bunda yang lagi mengaduk-aduk adonan jelly. Aku berjalan menghampiri Bunda dan berdiri di sampingnya, mataku melirik sedikit ke arah panci yang berisikan adonan jelly tersebut, Bunda menoleh sekilas tatkala aku berdiri di sampingnya.

"Jajan ya kamu." To the point-nya tanpa mengalihkan pandangannya

"Iya," Sahutku santai seraya menyodorkan uang kembalian kepada Bunda.

"Taruh di meja aja, Kak. Bunda nggak bisa ninggalin ini," Kata Bunda. Aku pun patuh manaruh uangnya di atas meja.

Aku merogoh kantong belanjaan tadi. Tetapi tiba-tiba teringat kejadian di minimarket tadi saatbertemu Kak Aidan. Aku menoleh menatap punggung Bunda.

"Bun ...," Panggilku spontan.

"Hm?" Balas Bunda.

Haruskah aku katakan?

Apa keuntungan yang aku dapatkan jika aku mengatakan kepada Bunda?

Tidak ada, selain kena ejek Bunda nantinya.

Baiklah, tidak jadi.

"Manggil doang." Ralatku.

Aku merogoh kembali kantong belanjaan tadi untuk mengambil sekotak pocky juga snack ringan yang akan kujadikan cemilan belajar.

"Abah nyariin kamu tuh, Kak," Kata Bunda yang tiba-tiba sudah berada di sampingku dengan panci berisi jelly ditangannya untuk dituangkan kedalam wadah loyang yang sudah disiapkan.

"Abah udah pulang? Kok aku nggak tau?" Padahal tadi aku melihat ada mobil sudah terparkir digarasi rapih, harusnya aku menyadari. Mungkin karena terlalu buru-buru takut kehujanaan, jadi aku tidak engeh.

"Abah sampai pas kamu keluar tadi.  Katanya Abah mau ngomongin soal ta'aruf, gih sana temuin Abah dulu," Imbuh Bunda.

Aku terbirit lari menaiki tangga menuju lantai dua rumah. Bahkan ucapan Bunda memperingatkan untuk tidak lari saat menaiki tangga aku hiraukan. Mendengar kata ta'aruf aku jadi semangat ingin menyampaikan sesuatu setelah pertemuan dengan Kak Maryam sore tadi. Dan wajar saja kalau Abah ingin membicarakan perihal tersebut. Sebab, pesan Abah belum aku sama sekali sejak pagi tadi.

Tanganku berpegangan pada ujung gagang tiang tangga terakhir dengan nafas memburu. Jika dilihat-lihat malam ini aku banyak berolahraga, tadi saat melompat-lompat di minimarket, lalu saat pulang dari minimarket aku berlari saking takutnya kehujanan, dan sekarang berlari menaiki tangga layaknya atlet lari.

Aku mengibas-ngibas wajahku dengan tangan, mendadak aku jadi kegerahan. Perlukah aku mandi? Rasanya aku berkeringat sekali malam ini—Baiklah aku mandi nanti.

Aku sudah berdiri tepat di samping tembok, yang mana jika aku maju selangkah saja, maka aku sudah memasuki area ruang sholat. Namun, sebelum melangkah, aku mencondongkan badanku, guna melihat apa yang sedang Abah lakukan. Mana tau Abah masih sholat atau sedang berdzikir. Aku menyembulkan kepalaku di balik tembok—dan benar saja, Abah masih berdzikir tapi tak berselang lama, selesai.

Aku menarik badan lalu menarik nafas dan membuangnya perlahan untuk menormalkan derunya. Aku menyembulkan kepala sekali lagi, ide jahil nampak pada otakku tatkala melihat posisi Abah yang sedang membelakangiku. Aku mulai melancarkan aksi. Berjalan perlahan mendekati Abah tanpa suara, hingga saat sudah dekat—

"Dor!" Pekiku.

Aku tertawa geli melihat reaksi Abah yang terlonjak kaget. Abah memegangi dadanya seraya melempar tersenyum tatkala tahu bahwa yang mengagetkannya adalah aku.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang