Chapter 11.2

1.6K 161 5
                                    

Ada beberapa hal yang memang harus kita terima dengan lapang dada, bukan berarti kita menyerah atau putus asa tak mau berusaha. Hanya saja, bila mana terdapat satu takdir yang tidak mungkin kita senangi, apa yang bisa kita lakukan. Marah? Tidak mungkin bisa, Kan. Kecewa? Itu pasti, tapi tidak merubah apapun.

Maka, berbaik sangka terhadap takdir-Nya itu jauh lebih baik, meski diawali rasa kecewa. Tidak mungkin takdir yang Allah berikan itu buruk, hanya saja kadang kita belum memahami hikmah yang tersimpan di setiap takdir yang diberikan. Segala sesuatu sudah ada ketetapannya, bukan? Lantas apa yang membuat kita berburuk sangka terhadap ketentuan Nya.

Meminta Kak Aidan untuk mengkhitbahku lagi? Aku tersenyum miris. Itu adalah ide terbodoh yang pernah aku pikirkan di tengah-tengah perasaanku yang tengah dirundung kesedihan ini. Seolah bagiku, hanya itu solusi yang bisa dilakukan agar aku bisa membantu Abah melakukan perawatan di rumah sakit. Hanya karena dipaksakan kondisi, aku sampai melakukan ide konyol itu.

Bermaksud melakukan kebaikan secara diam-diam, tetapi justru gagal, hingga berujung kecewa dan marah terhadap diri sendiri. Hendak menyalahkan takdir yang begitu memberatkan ini, tapi apa daya mengingat betapa banyak nikmat yang diberikanNya, Tetapi sedikit syukur kepadaNya. Apa pantas seperti itu? Tidak, sama sekali tidak.

Aku menadahkan kepala menatap langit yang sangat amat cerah, seolah tengah memancarkan kebahagiaan disaat jiwaku justru tengah dirundung kesedihan. Hari itu aku jadi berpikir. Ternyata, begini rasanya menjalankan hari yang berat dengan memikul beban masalah yang belum terselesaikan. Aku mengembalikan kembali pandanganku ke arah depan dan menghela nafas pelan.

Sedari aku berangkat kuliah hingga sampai di kampus, aku berusaha untuk tidak bertemu orang tuaku dan juga teman-temanku pada hari itu. Jika aku bertemu mereka, pasti mereka akan menyadari perbedaan yang ada dari diriku. Terutama mataku yang bengkak sebab kelelahan menangis hingga terbawa tidur semalam.

Seperti tadi, yang biasanya selepas mata kuliah aku pergi ke perpustakaan, tetapi itu hari itu aku memilih menyendiri di pojok masjid fakultas seraya mengerjakan tugas dari dosen. Juga sembari berusaha menghilangkan bekas bengkak di mataku dengan air dingin yang aku bawa di termos kecil, lalu aku basahkan dengan tisu.

Aku berjalan di tengah taman yang dihiasi pohon-pohon rindang seraya menendang-nendang kecil daun yang sudah jatuh disetiap langkahku. Angin yang bertiup menyapu wajahku kala itu membuat perasaanku sedikit membaik. Tapi semua itu tak bertahan lama saat handphone yang berada di kantong sweater oversize Ku berdering. Aku berhenti melangkah untuk mengambil dan melihat nama yang terpampang di layar Handphone tersebut, Bunda.

Tanpa banyak berpikir aku mengangkatnya, mungkin sebab pagi tadi aku berangkat sangat pagi, jadi Bunda menghubungiku untuk yang kedua kalinya Hari itu.

"Waalaikumussalam, Ada apa, Bun?" Ucapku dengan lancar jaya seolah tidak ada beban.

Tidak ada balasan. Aku mengernyit bingung lantas melihat kembali sambungan telfon, takut-takut sudah terputus. Cukup lama Bunda tidak membuka suara, dan dalam kurun waktu itu pula perasaanku benar-benar tidak enak. 

"Bunda ..." Panggilku lagi

"Abah ... Abah pingsan dan masuk Rumah sakit, Kak," Ucap Bunda lirih dari seberang sana. 

Aku meremas kuat genggaman handphone di tanganku. Kupikir saat itu perasaanku jauh sudah lebih baik, nyatanya belum. Satu kalimat yang Bunda ucapkan tadi berhasil memporak-poranda perasaanku. Sementara diseberang sana aku mendengar suara isak tangis yang kedua kalinya dari Bunda setelah semalam. Kali ini aku tidak perlu bertanya alasannya kenapa. Karena pasti, penyakit Abah sudah sangat parah hingga masuk ICU, mengingat Abah sudah menolak perawatan selama tiga bulan dari pernyataan diagnosis penyakit diawal.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang