Chapter 61

1K 115 0
                                    

Pada akhirnya sikap papa yang seolah tidak mengerti apa-apa, nyatanya itu hanya bagian dari pura-pura ketidaktahuannya. Jarak antara ruang dapur dan tengah sebenarnya masih dalam satu ruangan berbentuk lorong panjang penghubung ke halaman belakang. Aku rasa jika papa berbicara padaku dan orang datang itu mudah di sadari.

"Papa nggak tau masalah kalian apa, papa juga nggak mau ikut campur lebih dalam. Tapi, disini papa cuman ingin titip nasihat untuk kamu juga Aidan. Yang namanya pernikahan, itu alurnya pasti berliku. Ada fase dimana kalian saling menyayangi, saling mendukung, canda tawa bergurau dan lain-lain. Ada juga fase dimana kalian di uji dalam pernikahan itu sendiri. Ujian yang membawa kalian kemana dan apa hasilnya, itu tergantung bagaimana cara kalian menghadapi. Penting kita ingat lagi bahwa esensi pernikahan itu sejatinya kita sedang melangsungkan ibadah terpanjang sepanjang hidup. Sebagaimana ibadah pada umumnya, ada fase jatuh dan bangkit, bosan dan lelah. "

"Seberat, sesulit, dan semarah apapun kita terhadap pasangan, upayakan untuk tetap menyelesaikan dengan komunikasi yang baik dan santun. Kita nggak suka pasangan kita begini, bicarakan langsung, pun sebaliknya. Jika masalah kalian ada di komunikasi, misal. Sehingga kalian tidak kesulitan untuk menemukan penyelesaiannya. Paling tidak ingat kembali tujuan kalian menikah itu karena apa dan siapa. Jadikan Sakinah, Mawaddah, Warahmah itu sebagai pondasi dasar pernikahan kalian. Kira-kira bagian mana dari ketiga kalimat doa itu yang membuat kalian renggang dan saling menjauh, lalu kemudian kalian bisa perbaiki. Satu dari tiga bagian pondasi rusak, maka tidak bisa dipungkiri jika tidak perbaiki perlahan akan rusak semua. "

"Perbaiki pelan-pelan, selesaikan apa yang perlu diselesaikan, nggak nyaman katakan apa yang nggak nyaman. Mengalah boleh sesekali, asal ketika sudah lelah karena terus mengalah, papa nggak bisa bilang apa-apa, selain lebih baik kalian pisah dulu. Sedewasa-dewasanya kalian, pasti ada waktu dimana kalian juga ingin mempertahankan kehendak masing-masing, merasa benar dan tidak mau disalahkan. Tapi, nggak mungkin kan kalian terus-terusan mau mempertahankan itu semua di dalam diri kalian. Cobalah untuk turunkan sedikit ego itu. Papa paham, disini positif yang egonya tinggi itu pasti Aidan. Papa cukup ngerti betul anak sedikit nurun sama Papa, egonya sama-sama tinggi. Yaa semoga kalau nanti kalian punya anak, anak kalian nggak nurunin sifat Kakek dan ayahnya. Papa juga berharap sama kamu, Ra, pelan-pelan coba tuntun Aidan untuk nggak merajakan egonya itu. Papa yakin Aidan juga pasti sedang berusaha untuk melakukan hal itu. Tumbuh dewasa dengan mengemban kesalahpahaman panjang membuat Aidan paham dan kenal betul dengan dirinya sendiri."

Andai papa tahu bagaimana kesenggangan antara aku dan Kak Aidan terjadi. Menikah memang bukanlah solusi dari banyaknya penyelesaian masalah, tetapi justru menemukan daripada banyaknya masalah. Semua omongan papa menjadi benar dipikiranku, seolah beliau datang memang memberi sebuah solusi atas apa yang kini terjadi. Aku tidak mengelak sedikitpun apa yang papa ucapkan selain menjadikan itu sebagai titik balik yang mungkin bisa aku lakukan dalam hubunganku dengan Kak Aidan.

"Jadi papa harap, jangan terlalu lama bersitegang. Masa depan kalian masih panjang. Masih banyak hal yang harus kalian jelajahi dalam kehidupan pernikahan itu. Pastinya hal yang tidak pernah ditemukan dalam hubungan semanis setelah menikah, percaya sama papa." Sudut bibirku tertarik setelah mendengar kata 'manis' yang dilontarkan papa, pun saat melihat papa yang menampakan senyuman penuh percaya dirinya.

"Jam terbang papa kan lebih banyak dari kalian, benar nggak." Dia menambahkan dengan nada angkuh. Aku tertawa kecil sambil mengelap piring dan gelas yang baru saja di cuci dengan kain bersih.

Papa menepuk-nepuk pundaku pelan. "Saatnya papa bicara sama suami kamu," Papa mengangkat dua gelas cangkir kecil di hadapannya. "Boys time, ... sekalian papa mau minta Aidan cobain kopi lampung dari kawan papa." Aku mengangguk

"Pa," Aku memanggil papa yang baru jalan beberapa langkah. Dia membalikkan badan. "Makasih, dan maaf kalau sikap kita mungkin menjadi beban dan menganggu pikiran papa. Aku dan Kak Aidan sama sekali nggak bermaksud untuk menunjukkan hal itu padahal."

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang