Chapter 54

1.1K 116 2
                                    

Menghabiskan setengah hari minggu dengan duduk di meja belajar, mengerjakan tugas, ngemil, dan tiduran. Tapi, itu semua tidak bertahan lama sebelum Aleena datang alih-alih ingin main kerumah padahal ngidam minta dibuatkan pesto pasta buatanku. Melihat kemunculannya yang tiba-tiba sudah di depan rumah dan mengabari lewat pesan seperti itu apa tidak membuatku kaget.

"Dasar manusia dadakan,"Sindirku langsung.

Dan tanpa dosanya yang disindir hanya tercengir menampakan jajaran gigi saat aku membukakan pintu. "Mumpung lagi nggak ada Kak Aidan ..." Aleena berjalan mendahului sambil aku menutup pintu pagar rumah.

"Kamu naik apa?" Tanyaku dibelakangnya

Aleena nunggu di pinggir pintu masuk menoleh kepadaku. "Ojek online, 'Kan mobil gue udah dibawa ke Bandung."

Dahiku mengkerut. "Secepat itu?"

Dia mengangguk. Aku memimpinnya masuk ke dalam dan membawanya ke ruang dimana tv besar terletak di rumah. "Lebih cepat lebih baik." Aku, Nayla, dan Dea memang berencana mengantar Aleena pindah nanti.

"Kalau mau minum atau makan ambil sendiri sana,"Kataku spontan mengambil ancang-ancang naik ke lantai dua.

"Aku ke atas sebentar,"Sambungku.

"Mau bikin pesto pasta creamy, Ra." Dia mengingatkanku akan tujuannya datang

"Iya nanti kita buat," Pekikku saat sudah menaiki anak tangga.

Aku sudah merubah tampilan semenjak Aleena datang kerumah. Celana kulot model crinkle, kaos sebagai dalaman baju yang dipadukan rajut dan hijab instans berwarna senada. Sebab, sebelumnya Kakak sepupuku, Bang Altaf bilang mau mengantar makanan ke rumah.

Dan saat aku turun tangga, dia mengirim pesan jika sudah di depan pintu. Semalas itu dia mengetuk dan memberi salam saat sudah sampai. Aleena melirik sekilas ke arahku saat aku melipir ke dapur, karena Bang Altaf sudah berdiri di depan pintu keluar dari dapur.

"Rapih banget, mau kemana?" tanyanya pertama kali saat aku membukakan pintu

Aku menggeleng. "Nggak kemana-mana. Ada teman aku lagi main." Aku melipir memberinya lewat

"Siapa? cewek cowok?" Bang Altaf meletakkan makanan yang dibawa di atas meja.

Aku tidak begitu menghiraukan pertanyaan Bang Altaf melainkan fokus dengan salmon mentai buatan Ibu yang baru saja dia bawa. "Aleena," Cetusku langsung menyebut nama Aleena.

Antara ruang dapur dan ruang tengah memang memiliki ruang pembatas, meski begitu aku yakin Aleena masih bisa dengar obrolanku dengan Bang Altaf.

"Pedas nggak ini Bang?" Tanganku mencolek sauce mentai di atasnya. Aku menatap Bang Altaf yang tengah berkutat mencari loyang kue untuk dibawa ke rumahnya.

"Dikit, ... ini loyang buat bikin kue semua? yang biasa Bunda pake bikin bolu yang mana nih?" tanyanya sedikit frustasi setelah lama berkutat dengan wadah kue sejak datang.

"Bolu yang bulat apa yang panjang? Bunda biasa pakai loyang yang beda soalnya."

Bang Altaf sempat terdiam sejenak. Aku menahan tawa. Kasihan sekali, begitulah sekira jika kamu jadi anak terakhir di keluar dan hanya satu-satunya yang belum menikah. Jadilah anak berbakti kepada ibu, di suruh apa aja harus mau tidak boleh nolak.

"Kue brownies jarang ada yang bulat kan? jadi pakai yang mana? Ini?" Kali ini pakai tolak ukuran kue brownies. Bang Altaf mengangkat loyang di tangan kanannya.

Aku mengangguk. "Ya, pakai yang itu." Bang Altaf meletakkan kembali loyang di tangan kirinya ke dalam laci rak tempat semula.

"Semua yang ada di tangan anak cowok nggak ada yang nggak bisa dilakuin, kecuali perintah cewek," Gumamnya sedikit protes.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang