Chapter 68

1.1K 102 0
                                    

Jam sudah menunjukan hampir pukul dua belas malam. Aku yang pada seharian itu merasa lelah akibat menangis, memutuskan untuk tidur selepas isya dan terbangun, sebab merasa haus. Aku bangun dan duduk sejenak di tepi kasur untuk membiarkan darah dalam tubuh mengalir dengan baik, supaya saat bangun tidak dilanda pusing. Menyadari ternyata Kak Aidan tidak di kamar, membuatku berasumsi dia di luar kamar.

Mengenal kebiasaan Kak Aidan yang belakang membuatku hafal. Dalam keadaan apapun terkait pekerjaannya, jika tidak mendesak pasti dia tidak akan tidur larut. Tingkahnya tidak jauh beda dengan Abah, padahal jam tiga nanti harus bangun untuk sholat. Jika tidak aku beritahu, mungkin dia akan keterusan.

Aku memutar pelan knop pintu kamar. Samar-samar aku mendengar suara Kak Aidan yang sedang bicara. Aku tentu penasaran dia berbicara dengan siapa di tengah malam begitu. Aku tidak menaruh curiga sama sekali pada saat itu, hanya merasa aneh saja, hampir masuk tengah malam tenyata masih ada orang yang mengerjakan pekerjaannya.

"Alhamdulillah, mood-nya udah baik, Ba. Sekarang udah istirahat, kelihatan capek hari ini, makanya habis isya langsung tidur. Aidan paham sekarang, kenapa Abah nggak mau Rahil tau tentang pengobatan ini?" Detik itu juga langkah kakiku berhenti mendadak pada anak tangga selanjutnya.

"Hm, dia tipikal yang mudah kepikiran. Abah benar." Saat itu aku seolah ditarik kembali pada ingatan yang pernah terjadi. Aku dejavu.

"Bersyukurnya kali ini dia mencoba memahami dan berusaha menepis perasaan negatifnya. Mungkin Abah bisa sering-sering hubungi Rahil, barangkali mendengar kondisi Abah yang berangsur baik buat dia jadi sedikit tenang." Kak Aidan sedang duduk di sofa dengan posisi menyamping dari sudut pandangku sembari memangku MacBook-nya.

Dia sedang berbicara sama Abah, dan tau semuanya. Selama ini Kak Aidan ikut tutup mulut juga. Jadi, aku dibohongi dua orang sekaligus? Abah, Kak Aidan. Tungkaiku lunglai, tak kuat menahan bobot badan sendiri, sampai pada akhirnya terduduk di anak tangga dengan sorot nanar.

Kepercayaan pasangan terbentuk dengan saling terbuka satu sama lain? omong kosong, semua omong kosong. Jemari tanganku terkepal seiring kekecewaan yang menguak dari dalam diri. Nyatanya, semua orang yang aku anggap bagian penting dalam hidupku, mereka tidak memperlakukanku sebagaimana aku memperlakukan mereka.

Manusia memang panjang angan. Berandai-anda hanya membuat sakit hati karena tidak menemukan kenyataan. Silahkan, anggap aku sedang bawa perasaan karena disembunyikan dari fakta, bahwa Abah diam-diam menjalani pengobatan di luar negeri. Tapi, ini bukan lagi tentang apa yang disembunyikan, melainkan siapa yang menyembunyikan.

Ketika aku mencoba untuk menahan sedih karena baru mengetahui Abah yang ternyata menyembunyikan kondisinya dariku, tetapi lihat, kini Kak Aidan yang aku anggap bisa menjadi teman dalam kesedihanku, ternyata dia juga yang menjadi bagian kesedihan dalam diriku atas ketidak jujurannya. Seharusnya aku paham, sejak awal sebelum bertemu Kak Aidan, Abah terlihat begitu mempercayai Pria itu dalam menjaga kerahasian kondisinya.

Abah, dia lebih memilih terbuka kepada Kak Aidan ketimbang aku, anaknya. Aku tidak tau letak salahnya dimana dengan hal itu. Tapi yang pasti, aku iri dan sedih bersamaan. Pikiranku mulai berasumsi yang tidak-tidak. Apa Abah tidak menyayangiku, tetapi lebih menyayangi Kak Aidan? Jika iya, maka bila sesuatu yang buruk terjadi pada Abah, aku akan kecewa berat dengan Pria itu.

"Insha Allah, doain aja, Ba,"Senyum tulus terbentuk pada bibirnya.

Dahaga yang aku rasakan hilang begitu saja, melihat bagaimana dia, orang yang telah aku beri kepercayaan tersenyum dalam panggilan di sana. Aku tidak suka. Dadaku sesak. Aku iri. Aku Marah. Kak Aidan melakukan kesalahan fatal dalam hidupku. Aku sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai kekecewaan mendalam terkait kebohongan Abah, demi mengurangi rasa khawatirnya.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang