Chapter 62

1.2K 122 3
                                    

Mereka ke Riyadh untuk kepentingan lain, sesuai apa yang mereka katakan padaku. Bunda juga berterus terang mengatakan padaku jika Abah sempat drop dan keadaannya kini sudah baik-baik saja. Tapi, bolehkah aku sedikit merasa janggal, sebab sejak kemarin belum berbicara dengan Abah.

Bunda bilang Abah masih harus banyak-banyak istirahat. Dan karena perbedaan waktu antara jakarta dan Riyadh yang membuatku kadang kerap kali kurang tepat saat ingin menghubungi mereka. Tetapi, Bunda selalu meyakini jika Abah baik-baik saja dan aku harap Bunda tidak sedang bohong akan hal tersebut.

Aku sampai di apartemen lebih cepat dari biasanya. Ini sebuah keberuntungan, karena biasanya di jam-jam sore kendaraan umum seperti busway ramai dan jalanan macet. Akses pintu terbuka, mataku pertama kali tertuju pada sepatu lain di depan perbatasan pintu kaca masuk berikut disusul suara dua orang dari dalam. Jelas satunya suara Kak Aidan dan satunya lagi asing di telingaku.

"Lo bego. Harusnya tadi biarin aja gue hajar di tempat tuh orang. Udah salah, mau kabur lagi."

"Jangan numpahin emosi lo ke luka gue, Sialan. Sakit!"

"Makanya diam jangan banyak gerak. Susah gue ngobatinya anjir!"

Aku dengan ragu masuk ke dalam dan mengucap salam. Seketika dua orang yang sedang duduk di sofa sambil berargumen itu terdiam sebelum bersahutan menjawab salamku. Aku kenal dengan sosok yang di samping Kak Aidan karena waktu itu dia datang ke acara akad kami, kalau tidak salah namanya Kak Ali.

Lupakan sejenak keberadaan kawan Kak Aidan itu, sebab kini aku tertegun melihat Kak Aidan yang saat itu sedang dalam keadaan kacau sekali. Ada beberapa luka lecet di kaki dan tangannya, bahkan ada luka yang lebih parah dari itu semua di bagian dengkul kakinya.

Mereka berdua mendadak canggung mendapati keberadaanku. Tapi, aku mengabaikan raut keduanya sebab melihat keadaan Kak Aidan yang sedang terluka di sana seketika membuat hatiku terenyuh. Apa dia baru saja mengalami kecelakaan? Batinku bertanya-tanya

Meski sudah mendapat nasehat dari papa mengenai perang dingin yang terjadi kepada kami. Kenyataannya kami masih belum usai saling mendiami selepas pulang. Mungkin hari itu. Hari dimana aku melihat kondisi Kak Aidan yang mendapati beberapa luka membuatku meruntuhkan ego duluan. Hati kecilku tersentuh, tak tega mendapati Pria itu terluka.

Gerakan tangan Kak Ali yang hendak mengoles kembali antiseptik ke luka Kak Aidan terhenti instruksi dariku. "Tunggu Kak, jangan dioles dulu, darahnya masih keluar." Aku bergerak meraih kapas baru di atas meja kemudian bertumpu di depan luka yang masih mengeluarkan darah itu.

Kak Aidan meringis kesakitan saat aku menekan lukanya dengan kapas. Aku menoleh mendapati Pria itu tengah memejamkan mata. Aku membuang kapas bekas tadi, kemudian mengambil kapas baru, kali ini aku menuangkan antiseptik kepermukaan kapas, sehingga tekstur kapas wajah itu menjadi agak basah.

Mataku memandang bungkus kapas wajah yang digunakan untuk mengobati luka Kak Aidan. "Kapas wajah? ... Loh, inikan kapas wajah punyaku!"

"Siapa yang ambil kapas ini?" Aku menatap keduanya bergantian dengan pandangan menusuk.

Kak Ali mengerjapkan matanya berkali-kali. "Aku. Ali nggak nemuin kapas luka jadi aku suruh aja pake kapas wajah." Sahut Kak Aidan santai. Padahal aku baru membelinya, belum ada aku pakai banyak. Aku menekan kembali lukanya Kak Aidan dengan antiseptik yang sudah dituang ke dalam kapas tadi. Kulampiaskan perasaan kesal itu pada lukanya. Hingga sukses membuatnya memekik kesakitan. 

"Ra!"

Pria itu menatapku nyalang seolah tau jika aku memang sengaja melakukannya. Aku melirik Kak Ali, juga ternyata kami sama-sama melempar senyuman jahil. Kak Ali bangkit dari posisi duduknya di bawah karpet menjadi setengah bertumpu. Sedangkanku siap kembali menekan luka itu dengan kapas baru yang dituang antiseptik lagi.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang