Chapter 13

1.6K 155 0
                                    

Sore itu aku berada di rumah sakit, karena setelah Abah membuka matanya sehari setelah keluar dari ruang ICU. Aku selalu mengunjungi rumah sakit, sekedar untuk menjaga dan membantu segala kebutuhan Abah.

Awalnya hal itu dapat penolakkan dari Bunda, dia menyuruh agar aku fokus saja pada ujian saja. Tetapi aku menolak, dan mengatakan bahwa aku masih bisa fokus pada ujian semesterku.

Aku berlari kecil agar sampai pada ruang inap Abah. Tak butuh waktu lama untuk sampai, aku pun sudah berdiri tepat di depanny. Aku membuka pintu dengan pelan dan menyembulkan kepala di balik pintu tersebut.

"Aba!" pekikku kencang

Abah yang tengah membaca buku sontak langsung terkejut dengan suara yang memekik itu. Aku masuk dan menghampiri Abah dan lantas menadahkan tangan.

Abah yang paham maksudnya pun mengulurkan tangannya untuk aku salimi. "Ass–," Ucap Abah terpotong karena aku langsung buru-buru mengucap salam.

"Assalamualaikum, " Aku tersenyum merekah

"Nggak telat 'kan." sambungku lagi dengan menaik turunkan alis.

Abah yang melihat tingkahku itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Waalaikumussalam. Gimana ujiannya, lancar?" Tanya Abah

Aku memutar mata jengah mendengar pertanyaan Abah, "Pertanyaannya nggak ada yang lain ya, Bah? Misal kayak, Kakak gimana kabarnya, udah makan belum, udah sholat belum, atau Kakak punya uang jajan nggak. Ini baru dateng udah disuguhin pertanyaan kayak gitu." Aku memasang raut wajah cemberut

"Kalau gitu berarti ujian hari ini nggak lancar." To the point Abah

Aku menggeleng cepat, "Siapa bilang? Lancar jaya kok Alhamdulillah, apalagi ngarang bebasnya." Ujarku seraya tersenyum merekah saat membayangkan bagaimana tadi saat aku mengerjakan ujian pada bagian yang tidak aku tahu.

Abah langsung menautkan kedua alisnya, "Kok bi—"

Saat Abah hendak mengomentari ucapanku, aku menatap tidak suka. Dan lagi, aku memotong ucapan Abah karena aku tahu, pada akhirnya Abah akan memberiku sebuah wejangan panjang lebar hanya karena aku menulis karangan bebas pada lembar jawaban ujianku.

Dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi, karena menurutku bukan waktu yang pas. Walaupun aku tahu niat Abah pasti baik. Aku mengkode Abah agar tidak melanjutkan ucapannya dengan jari telunjuk yang kuangkat di hadapannya.

"Abah stop. Kakak minta tolong untuk sekarang Abah jangan bahas ujian dulu, oke? Tenang aja, aku nggak bakal dapat D kok." Ocehku. Dapat kudengar setelahnya helaan nafas panjang Abah.

Aku berjalan ke arah sofa untuk meletakkan totebag yang kubawa

"Oh iya—" Aku celingak-celinguk. "Bunda mana, nggak kelihatan batang hidungnya?" Tanyaku lagi, tatkala tidak menemukan sosok keberadaan Bunda.

"Tadi Bunda keluar, katanya mau ke bagian administrasi, memang kamu nggak papasan diluar tadi?" Balas Abah balik bertanya kepadaku.

Aku menggeleng, "Nggak tuh,"

"Sebentar lagi juga datang. Kamu udah makan belum? makannya jangan sampai telat, nanti maagmu kambuh." Peringat Abah

"Iye bos, aman itu mah."

Suasana mendadak hening, aku masih dengan memijat tangan Abah, lalu kemudian kakinya.

"Kak," panggil Abah

"Hm?"

"Abah minta maaf ya." Celetuk Abah tiba-tiba.

Aku merotasikan mata mendengar kalimat yang akhir-akhir ini sering keluar dari mulut Abah, bahkan sampai bosan aku mengatakan, bahwa aku tidak apa-apa mengenai persoalan Abah yang menyembunyikan penyakitnya. Bagiku, sudah cukup melihat Abah membuka mata rasanya aku sudah sangat bersyukur sekali.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang