Chapter 34

1.3K 127 0
                                    

Jam tujuh malam aku menyiapkan makan malam untuk diriku sendiri. Mengingat Kak Aidan pulang larut, jadi sudah pasti dia makan diluar. Aku memasak sambil memutar video yang sudah empat hari dikirim oleh dosen di grup obrolan kelas, sebagai tugas individu di iPad.

Dalam seminggu ini, serempak tugas-tugas diberikan. Semua dosen seperti sengaja janjian ingin membuat mahasiswanya bekerja romusha. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Pegangan satu-satunya yang dipunya saat porak-poranda dunia penugasan terjadi cuman Allah ta'ala.

Lelah sudah menjadi rasa yang tidak asing lagi untuk dirasakan tubuh ini. Aku tuh sebenernya heran. Seperti yang sudah-sudah. Aku tau, sesulit apapun itu tugasnya, pada akhirnya aku pasti bisa mengerjakannya. Tapi kenapa, semua itu selalu diawali dengan keluhan. Stress-lah, susah-lah, capek-lah, mengaduh ini itu— Kenapa?

Padahal kata Ustadz Adi Hidayat, dunia itu memang tempatnya capek. Jadi wajar, nanti juga saat pulang ke Allah capeknya hilang. Masih muda suka ngeluh, bagiamana tuanya? Kadang aku  butuh nasihat yang menampar. Gapapa deh, terjungkal, bikin sakit hati, bikin badmood, yang penting bawa aku ke jalan yang benar.

Dalam sebuah buku berjudul Seni Tinggal Di Bumi yang pernah aku baca. Tepatnya, dibagian kisah yang menceritakan, seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun, yang mendapatkan amanah begitu besar sejak lahir untuk menaklukkan kota konstatinopel. Kota yang menjadi harapan dari enam abad perjuangan para pendahulu, juga menjadi janji yang diucapkan Rasulullah SAW ratusan silam.

Harapan dan usaha yang tidak main-main dilakukan. Dan, dia saat itu berusia dua puluh satu tahun. Kisah yang mungkin membuat semua orang percaya tidak percaya, tapi harus percaya karena benar adanya. Mungkin jika Muhammad Al-Fatih masih hidup dan melihat kondisi anak muda zaman sekarang—terlebih aku, yang suka mengeluh dan merintih karena masalah sepele, seperti tugas. Mungkin dia akan menggelengkan kepala sambil beristigfar.

Sepatutnya dari kisah pembebasan konstatinopel, kita jadi tahu bagimana dulu islam memiliki pemuda-pemuda luar biasa dengan kegigihan dan tekad kuat yang berbekal taqwa. Melebarkan sayap islam, menoreh dan mengubah peradaban. Sesuatu yang bisa dijadikan patokan pemuda muslim sekarang akan mengarahkan kemana dan apa tujuan hidupnya.

Pesto pasta dengan brokoli dan tomat menjadi pilihan menu makan malamku. Sayangnya malam itu aku malah memikirkan Kak Aidan yang belum mencoba pesto pasta buatanku. Berbicara tentang kejadian pagi tadi, aku pasrah saja saat Kak Aidan tidak mengizinkan nanti. Dan benar kata Abah, aku tidak boleh mengdahului kewajiban diatas kepentingan orang lain.

Aku menyiapkan buah-buahan yang sudah dipotong kecil untuk menemai saat belajar nanti. Beres makan, aku membersihkan peralatan yang digunakan untuk masak tadi, setelah itu pergi mengambil wudhu, lalu sholat isya.

Pas menjelang jam sembilan malam, sebenarnya aku sudah mengantuk, tapi masih kutahan-tahan karena ingin menuntaskan tugas malam itu juga. Cukup empat hari untukku menunda-nunda, aku tidak ingin ada beban pikiran lagi.

Tiba-tiba saja malam itu aku ingin makan strawberry korea yang berwarna pink dan manis. Aku baru ingat jika tadi belum membelinya alias lupa. Pikiranku saat itu langsung tertuju pada Kak Aidan yang masih diluar. Aku berharap dia mau membelikan strawberry itu.

Aku mengirim pesan, bersyukurnya langsung dijawab cepat oleh Kak Aidan. Dia mengiyakan keinginanku. Aku menyarankannya untuk membeli di Ranch market, toko dekat apartemen saja. Setelah obrolan singkat itu selesai, Kak Aidan beramanah, meminta untuk disiapkan air hangat sebelum dia sampai.

Aku bergegas menunaikan amanah itu. Sambil menunggu Kak Aidan, aku bermain handphone di atas kasur. Selang tiga puluh menit, ternyata aku ketiduran dan baru tersadar saat mendengar suara aktivitas seseorang diluar kamar. Aku membuka mata sepenuhnya, meski hal itu berat kulakulan, karena aku mengantuk sekali.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang