Chapter 71

1K 107 22
                                    

Vote dulu sebelum baca,
dan spam komen "Next"
waktu usai.😊

Selamat membaca

Bagai alarm otomatis, setiap pukul tiga pagi, tubuhku seolah ditarik alam bawah sadar untuk melaksanakan tahajud. Tapi, tak ayal juga kadang khawatir melewatkan sholat malam itu, sehingga tetap memasang alarm. Nyeri pada perutku lagi-lagi menyerang. Maag-ku seperti sudah kambuh sejak semalam, tapi aku justru mengabaikannya dan malah langsung tidur, pantas pagi-pagi aku merasa nyeri lagi.

Aku hendak beranjak bangun, tetapi tertahan oleh sesuatu yang saat aku lihat, itu adalah tangan Kak Aidan dengan melingkar penuh di lingkaran perutku. Juga, ternyata tangannya menjadi bantal kepalaku. Aku menghela nafas pelan. Padahal sudah sering kali mengeluh tangannya sakit saat menjadi bantalan kepalaku semalaman, karena kondisi tidurku yang jarang berubah-ubah, seperti orang mati. Tapi, tetap saja dia tidak kapok.

Dengkuran halusnya terdengar dari belakang tubuhku. Tidurnya nyenyak sekali, pikirku. Apa mungkin semalam Kak Aidan kembali larut? malam tadi aku benar-benar tidur cepat. Bahkan tidak ada satu menit merebahkan badan, aku langsung pulas. Asumsiku mungkin saja benar, Kak Aidan semalam menemui keluarganya di bawah. Dan, pasti ada perempuan yang semalam. Aku berdecih. Selang beberapa detik langsung beristighfar.

"Kak bangun, sholat." Aku menepuk-nepuk tangannya yang berada di pinggangku

"Kak Aidan." Dia mulai menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan saat tidurnya terganggu. Tapi tak kunjung membuatnya bangun, melainkan justru hanya melepas tangannya yang melingkar di perutku dan merubah posisi menjadi terlentang.

Aku beranjak bangkit dan melihat Kak Aidan masih memejamkan mata. "Siram air segayung kali ya." Gumamku pelan

"Aku udah bangun." Dia tiba-tiba membuka matanya, kemudian beranjak bangkit dengan wajah bantal.

Katanya seseorang dikatakan tampan dan cantik ketika dilihat saat bangun tidur. Dan, Kak Aidan ditakdirkan menjadi salah satunya. Aku tidak bisa medeskripsikan tiap pahatan karya  yang Tuhan berikan itu. Sampai-sampai ada ketidakrelaan dalam diriku saat perempuan lain mendekat dan memeluknya.

Wajahku berpaling dengan cepat saat gerakanku sejak bangun menjadi lambat untuk melaksanakan sholat. Aku turun menapakkan kaki di lantai kemudian menuju ke arah kamar mandi, tanpa tau Kak Aidan juga memiliki niat yang sama. Sehingga, sesampainya kami di depan kamar mandi dan hendak masuk, secara bersamaan saling menyenggol.

"Kak Aidan... Satu-satu masuknya. Aku duluan." Protesku

"Aku dulu, sih. Mau buang buang air kecil, Ra," Katanya masih dengan wajah bantal.

"Tahan. Kita gantian. Aku dulu yang masuk." Aku tidak akan pernah mengalah untuk merebutkan sesuatu ketika orangnya adalah Kak Aidan.

Aku kembali hendak masuk, begitu juga dengan Kak Aidan. "Kak Aidan." Aku merajuk begitu kami bersenggolan lagi.

"Serius, udah nggak tahan."

"Ya udah tuh, duluan." Akhirnya aku mengalah

"Masuk bareng aja, gimana?" Tanya dengan wajah sok polos ingin aku cakar.

Aku melayangkan kepalan tangan di depan wajahnya. Dia tersenyum tanpa dosa.

Selepas bergantian memakai kamar mandi. Kami berjamaah tahajud sekaligus sholat subuh. Barulah setelah itu Kak Aidan mandi duluan karena dia akan turun ke ruang rias pengantin Pria untuk memakai kain adat jawa menemai pengantin pria, atau biasa disebut sebagai groomsmen.

Karena acara akad dimulai pukul delapan. Pukul tujuh lewat aku sudah siap, tentu memakai gamis yang Bunda Abah belikan. Tipikal gamis brokat dengan warna soft, juga style-ku, dan sangat cocok dipakai kondangan, wisuda, atau bridesmaid. Mungkin aku akan memakai gamis ini ketika wisuda nanti.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang