Chapter 16

1.8K 155 1
                                    

Waktu sudah sore dan ketiga temanku ingin pulang. Aku menghantarkan kepergian ketiganya ke luar gerbang rumah.

"Kamu ..."Ucap Nayla tiba-tiba menunjukku. Aku menaikan kedua alis.

"Harus balas jasa kita bertiga karena udah berhasil buat kamu sadar." Katanya dengan ekspresi wajah serius.

"Nah, gue setuju!" Celetuk Aleena. menyetujui perkataan Nayla.

"Kalau nggak kita buat lo sadar secara cepat. Lo bisa aja bablas pingsan sampe berjam-jam, jadi ... benar kata Nayla, lo harus balas jasa kita bertiga." Timpal Aleena. Kali ini diangguki Dea

Aku menatap malas ketiganya. Padahal apa yang mereka lakukan tadi, hampir membuatku mati mendadak juga karena tersiram air satu gayung. Dan sekarang mereka minta imbalan. Benar-benar kawan pamrih.

"Eh, Nggak boleh menggerutu gitu tau, Ra." Ujar Dea, seolah tahu jika aku memang sedang menggerutu.

Aku menghela nafas panjang, "Ya Udah, kalian mau minta apa?" Tanyaku penuh kelembutan, bukan lembut sebenarnya, tapi lebih ke sabar.

Mereka bertiga saling melirik satu sama lain. Aku pun ikut melirik mereka bertiga satu persatu.

"Nggak muluk-muluk, kok." Celetuk Nayla

Nggak muluk-muluk artinya muluk-muluk. Batinku berucap cepat

"Apa?" Tanyaku yang sebenarnya sudah lelah sekali berdiri. Niat hati ingin menghantarkan ketiganya pulang, tapi ketiganya tidak pulang-pulang. Dan justru malah minta imbalan atas kepahlawanan mereka.

Nayla membuka mulutnya hendak mengatakan, "Nanti kita kasih tau," Katanya tersenyum lebar.

Aku melipat tangan di dada dengan sebelah alis terangkat, mataku melirik Nayla, Dea, dan Aleena dengan tatapan curiga.

"Awas kalian minta yang aneh-aneh." Peringatku menatap ketiganya.

"Nggak aneh kok. Kita jamin kali ini pasti lo suka sama permintaan kita." Balas Aleena, diangguki Dea dan Nayla.

Aku menghela nafas panjang.

Dea, Nayla dan Aleena pun berpamit pulang. Hari sudah semakin sore, aku pun memutuskan untuk masuk kedalam rumah. Aku masuk melalui pintu belakang garasi, sebab di pintu utama yang terhubung langsung dengan ruang tamu masih ada Kak Aidan dan teman-temannga yang sedang berbincang. Jadi aku memutuskan untuk lewat pintu belakang tempat garasi mobil.

Kondisi rumah juga masih ramai. Beberapa orang dari keluarga terdekatku dan Kak Aidan masih berkumpul dan berbincang satu sama lain. Saat itu karena aku lelah sekali, aku ingin cepat-cepat masuk kamar sekadar untuk mengistirahatkan diri atau membersihkan diri.

Namun, niatku itu harus kurungkan sebab aku melihat Kak Safa, saudaraku yang tengah kerepotan mengasuh kedua anaknya yang masih kecil. Aku kasihan melihatnya kerepotan, hingga mau tak mau aku menghampiri ibu dua anak itu.

Aku duduk di samping Kak Safa dan menyapa anaknya yang masih berusia dua tahun itu, sedangkan yang satunya lagi baru berusia enam bulan.

"Abang Kazayn lagi apa?" Tanyaku. Meski anak kecil itu tidak mengerti apa yang kukatakan. Tapi dengan celotehannya seolah dia tengah menjawab pertanyaanku.

"Makan pudding, iya?" Sahut Aku tersenyum. Balita itu menyahut dan itu membuatku terkekeh gemas melihatnya.

"Sini Kak, biar aku yang suapin." Pintaku untuk menyuapi Kazayn makan. Kak Safa pun memberikan tempat makan Kazayn kepadaku. 

"Kamu nggak nemenin suami kamu di depan, Ra." Tanya Kak Safa.

Suami?

Kak Aidan kan?

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang