Chapter 40

1.4K 136 2
                                    

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kak Aidan sama persisi seperti Om Abhim ketika berbicara. Apalagi jika bahasannya berbobot, seperti yang malam itu sedang dia lakukan saat berbincang dengan Om Hamid. Aku menyimpulkan hal itu bukan tanpa alasan. Baru saja aku tersadar akan sesuatu.

Om Abhim dulunya adalah seorang ASN pajak eselon tiga yang pernah membuat jagat politik heboh karena keputusannya memilih mengundurkan diri ketika diminta mengisi jabatan dirjen pajak sebelumnya karena terkena desas-desus kasus korupsi. Namanya muncul di media karena digadang-gadang tahu 'permainan' penjabat pajak, oleh karenanya dia mengundurkan diri.

Hal itu langsung dibantah Om Abhim karena alasan sebenarnya, beliau hanya ingin melebarkan sayap dikancah bisnis. Semenjak saat itu, wajahnya jadi sering tampil tv dengan headliner berita 'mantan penjabat tinggi pajak yang sukses melebarkan usaha dalam kancah bisnis'. Undangan forum-forum seminar nasional maupun internasional, pun juga tak lekat beliau hadiri.

Pernah sekali beliau mengisi seminar umum di kampusku. Aku menghadiri, sebab ingin tahu sejauh mana penerapan ilmu retorika yang identik dengan public speaking dari sosok mantan penjabat tinggi pajak yang belakangan terkenal dalam menyampaikan pesan kepada audiencenya. Karena kebetulan saat itu di semester dua, aku ada mata kuliah public speaking, yang selama satu semesternya banyak melakukan praktik.

Pembawaan, gaya bicara, pilihan diksi, gesture tubuh. Semua aku analisi untuk di pahami dan praktikkan demi kelulusan mata kuliah. Di saat teman-temanku lebih memilih buku sebagai sarana belajar memahami dan mempraktikan public speaking, aku memilih seseorang dengan jam terbang tinggi namun masih bisa aku temui dalam memberikan penerapan mata kuliah yang sedang aku jalani.

Om Abhim menjadi orang terpilih sebagai objek analisiku dalam hal tersebut. Hingga aku paham dan hafal bagaimana dia berbicara. Ini mengapa aku mengatakan Kak Aidan sama persisi dengan Om Abhim ketika berbicara, gaya mereka serupa.

"Kak, Aleena apa kabar?" Bunda menghampiriku dengan nampan kosong yang habis dibawanya dari ruang tamu. Saat itu di dapur hanya aku dan Bunda, yang lain sedang berkumpul di ruang tengah.

"Gimana keputusan dia selanjutnya? Bunda mau hubungi dia kira-kira ganggu nggak ya, Kak?" Bunda sudah aku beritahu mengenai kejadian Aleena

Aku memindahkan gelas yang sudah dilap kering ke dalam rak laci di bawah. "Baik kok dia. Rencananya sih habis ujian nanti mau ngambil cuti kuliah terus pindah ke Bandung sementara."

"Pindah ke Bandung? Tinggal dimana? Sama siapa di sana?" Nada Bunda terdengar sangat khawatir.

Aku menggeleng. "Kurang tahu, Bun. Kayaknya dia menetap di sana tanpa ada orang yang tahu selain kita bertiga. Kalaupun ada juga pasti ujung-ujung kita dilarang bilang ke siapapun."

"Kamu nggak coba bujuk dia untuk menetap di sini aja? Bunda takut kalau sendirian tinggal di Bandung, dia malah kesepian nggak ada teman. Nanti kalau kenapa-kenapa di sana juga, kan nggak ada tahu."

"Udah Bun, tapi tetap aja kekeh anaknya. Memang lagi butuh waktu sendiri dan lagi mencoba jauh dari lingkungan pertemanan sebelumnya. Dia nggak nyaman dan selalu gelisah meskipun udah pindah apartemen dan memutus semua hubungan dengan pertemanan lamanya. Terus juga untuk menghindari pasang mata anak-anak di kampus kalau-kalau melihat dia dalam kondisi perut besar.Ya, ... Aku bisa apa kalau memang keputusan terbaik dan ternyamannya dia kayak gitu."

Bunda menghela nafas. "Ya kalau memang begitu keputusannya, Bunda harap dia bisa jauh lebih baik deh. Temenin terus Aleena Kak, sering berkabar, sesekali kunjungi. Bareng-bareng sama Dea Nayla juga."

"Insha Allah, aku sama teman-teman pasti bantu dia kok."

Jam delapan lewat sepuluh, satu persatu keluargaku pulang. Lalu pada jam sembilan kurang lima belas, Om Abhim yang paling terakhir pulang karena terlalu asik ngobrol dengan Abah dari A sampai Z.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang