Chapter 31

1.3K 144 2
                                    


Aku menjatuhkan kepala di atas meja sambil memejamkan mata. Rasanya kepalaku mau pecah mengerjakan tugas analisis. Membaca buku ini itu, mengkomparisikan isinya, mengevaluasi, membagikan opini. Andai menyerah itu semudah mengangkat bendera putih. Ketika tidak kuat maka kibarkan.

Aku menegakan badan lalu menepuk-nepuk kedua pipi. Kembali lagi aku menatap layar laptop tanpa melakukan apapun. Hanya menatap. "Aaaakh." Aku mengepalkan kedua tanganku di depan benda mati itu. Antara kesal dan gereget. Keduanya menyatuh.

Aku menaruh kedua jariku dijidat, seolah tengah mengingat sesuati."Setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Kemarin kamu bisa lewatin, pasti sekarang juga bisa. Ayo Rahil, kamu pasti bisa. Bisa bisa bisa." Aku berucap sendiri.

"Ingat, kata pak Vadin. Ketika kuliah yang diuji sebenarnya itu bukan pelajaran, tapi mental. Ini ujian mental bukan ujian materi atau apapun itu." Ucapku dengan raut dibuat sok serius

Aku memejamkan mata sambil menghela nafas pelan. Mulai menarik senyuman dibibir. Dan menatap kembali layar laptop yang berisikan ketikan tugas analisiku. 

"Ketik dan selesai. That's it." Aku menekankan kalimat itu.

Jari-jariku mulai lincah bermain diatas keyboard. Mataku mulai fokus menelisik tiap kata dan tulisan. Otakku seolah mendapat tsunami kosa kata untuk kupindai melalui ketikan di laptop. Biasanya kami, mahasiswa jurusan sastra inggris, memang lebih banyak menganalisi sebuah karya novel dengan teori-teori critism. Seperti marxism, feminism, psychoanalysis, imperalism, dan lain-lain. Yang kemudian kami komparasikan dengan beberapa konteks yang menjadi point utama analisis kami. 

Literary critism itu sebenarnya kami memberi pendapat pada hasil analisis yang dilakukan terhadap konten dalam karya novel. Secara gambaran umum mirip esai memang. Simplenya, ada satu perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya. Kritik sastra (Literary criticism) penilaiannya objektif dan cenderung isi teksnya seimbang, tidak condong dalam menilai jelek dan bagusnya karya. 

Pintu kamar terbuka memunculkan sosok Kak Aidan yang membawa gelas. "Nih minum teh hijau." Kak Aidan menyodorkannya padaku

Aku meraih tanpa banyak bicara dan mulai menegak. Raut wajahku berubah tatkala meneguk teh tersebut. "Pahit." Aku meletakkan kembali gelas berisi teh itu di samping meja.

"Sengaja nggak gue kasih gula. Justru khasiatnya jauh lebih bagus tanpa gula. Habisin."

Aku menggeleng dengan wajah melas. "Terlalu pahit."

"Habisin." Kekeh Kak Aidan dengan raut santai, namun terkesan menuntut.

"Tambahain gula dikit deh," Aku menawar.

"Minum,"

"Atau nggak tambahin madu," usul aku

Kak Aidan memasukan kedua tangan pada saku celana tidur, "Madu habis. Maka dari itu nggak gue tambahin pemanis."

Aku mengerucutkan bibir lalu menatap gelas teh hijau tersisia dengan melas. "Lihat gue terus minum." 

Mataku mendelik kesal kearah Kak Aidan. Aku dengan terpaksa menghabiskan teh hijau itu, meski harus perlahan meneguknya karena terlalu pahit dilidahku. 

"Tugas lo belum selesai?" Kak Aidan hendak meraih gelas tadi selepas aku menghabiskan isinya

"Nggak usah kak, biar nanti aku aja yang taruh. Belum, masih harus nulis narasi opini lagi." 

Aku menatap Kak Aidan berbinar, "Kenapa? mau bantu?" Tanyaku.

"Engga," Jawabnya singkat lalu berlalu menuju tempat tidur.

Wajahku berubah datar. "Makasih tehnya." Tak lupa juga mengucap terima kasih pada Pria itu. Kak Aidan hanya membalas dengan deheman. 

"Skripsi Kak Aidan gimana? udah selesai?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop 

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang