Chapter 23

1.5K 144 0
                                    

Sorot mataku tak lepas dari pemandangan kiri kanan yang penuh dengan perkebunan teh seiring perjalanan mobil saat menanjak. Mataku seolah tidak boleh berpaling dari kaca jendela mobil yang sedikit berembun itu. Aku bisa merasakan bagaimana dinginnya hawa di luar mobil mengingat sedikitnya sinar cahaya matahari yang tembus.

Tanganku terulur untuk membuka setengah jendela kaca mobil untuk merasakan hawa sejuk dari luar. Seketika hembusan angin langsung menerpa wajahku. Aku membuka penuh jendela kaca mobil, dan semua hawa sejuk tanpa permisi langsung masuk kedalam mobil.

Senyumku mengembang, kedua tanganku berpegangan di antara sela kaca. Aku menghirup dalam-dalam udara saat itu. Aku menjulurkan tangan keluar, tapi belum sempat menjulurkan sepenuhnya, suara Kak Aidan sudah menginterupsi.

"Jangan gitu, bahaya. Tutup kacanya," Celetuk Kak Aidan dengan sorot mata fokus menatap ke depan. Aku tak mengindahkan perintah Kak Aidan dan malah asik menikmati semilir hawa dingin puncak.

"Gue masih pake kaos, Dingin," Imbuh Kak Aidan.

"Nanti dulu, Kak," Sahutku enteng.

"Tutup atau gue yang tutup." Kak Aidan mendesakku

Bahuku turun. Tanpa banyak bicara lagi, aku menyimpan kembali tanganku dan mengikuti perintah Kak Aidan untuk menutup kaca mobil. Kak Aidan menekan tombol window lock, sehingga semua kaca mobil terkunci. Aku mempoutkan bibir.

"Masih lama sampainya?" Tanyaku sambil memandang kearah depan seraya tangan memukul-mukul pelan dashboard mobil. Bosan.

"Masih," Sahut Kak Aidan tanpa menolehkan kepalanya.

Aku menghembuskan nafas pelan, lalu bersandar dengan posisi kepala menghadap kaca mobil. Bosan tidak melakukan apa-apa, aku memilih untuk mendengarkan musik. Kepalaku berubah posisi menjadi bersandar dikaca mobil. Sesekali juga aku memejamkan mata.

"Awas nanti kebentur," Tegur Kak Aidan yang masih bisa aku dengar.

"Hm," Balasku masih dengan mata terpejam. Ternyata rasa kantuk sungguh datang menghampiriku. Baru beberapa detik mataku terpejam, tiba-tiba—

Dug!

"Aw!"

Kontan mataku terbuka lebar, rasa kantuk mendadak hilang seketika saat kepalaku terbentur. Aku meringis mengusap kepala. Bibirku melengkung kebawah sambil menoleh ke arah Kak Aidan. Sementara yang di tatap malam tersenyum menyebalkan.

"Ngeyel dikasih taunya," Ejek Kak Aidan.

"Kak Aidan nih,... pelan-pelan dong bawa mobilnya." Aku menggerutu. Kuputar badanku mengharah kursi penumpang untuk mencari bantal kepala yang seharusnya aku bawa. Seharusnya.

"Lo aja yang batu dibilangin susah," Sahut Kak Aidan santai

"Kepalaku sakit tau. Bantal kepala aku mana?" Tanyaku sambil mencari-cari bantal kepala bebek berwarna kuning.

"Tadi kan nggak mau dibawa," sahut Kak Aidan.

"Hah? iya?Yahh." Aku mendesah kecewa

"Kenapa, mau tidur?" Kak Aidan menoleh sekilas kearahku.

Aku menggeleng. "Ga juga sih, cuman mau tidur-tiduran aja."

Kak Aidan tiba-tiba menyodorkan sebelah lengannya ke arahku, "Dua puluh menit buat tidur di tangan gue."

Aku mengerutkan dahi bingung. "Serius?" Tanyaku menyakinkan

Dia menoleh sekilas kearahku "Nggak mau?"

Aku tersenyum lebar, lalu spontan langsung menarik tangannya. "Kalo aku tidur beneran nggak apa-apa? Banguninnya waktu sudah sampai nanti," Kataku tidak tahu diri

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang