Chapter 64

1.2K 118 3
                                    

Aku merebahkan tubuh di atas kasur dengan posisi menyamping. Ya Allah mengapa istirahat seenak ini? Baru istirahat di dunia, bagaimana dengan akhirat- akankah sensasinya sampai menghilangkan semua kosa kata nyaman dan damai yang pernah ada? Baru saja aku selesai beres-beres bekas sisa makan siang tadi sebelum Kak Aidan pergi untuk solat jumat. Kemudian, aku lanjut membersihkan apartemen. Barulah, setelah itu aku mandi, solat, lalu istirahat.

Ponselku berdering. Panggilan video masuk langsung dari Abah yang membuat wajahku berbinar dan segera mengubah posisi menjadi tengkurap di atas kasur.

"Abaaa!" Aku berseru tatkala panggilan video itu beralih memperlihatkan sosok Abah yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

"Masih ada yang sakit nggak, Ba? Tapi, kalau aku liat-liat udah segar bugar gitu. Jadi, kapan pulang?" Todong Aku langsung menanyakan kabar kepulangan Bunda Abah.

"Assalamualaikum." Sindir Abah

Senyumku tertahan. "Waalaikumussalam."

"Kebiasaan... Alhamdulillah, Abah jauh lebih baik. Tadi Abah habis gerak dikit-dikit, supaya nggak kaku badannya baring terus. Untuk pulang, kayaknya dokter masih belum izinin, Kak. Paru-paru Abah dalam jangka dekat ini harus rutin di cek up dokter kondisinya." Aku menekuk wajah

"Memangnya cek di sini sama di sana apa bedanya? dokternya aneh deh," Cibirku di akhir.

"Lagian, aku kan juga mau bantu Bunda jaga Abah kalau di rawatnya di sini." Aku menimpali lagi. Terus terang aku jadi tidak suka mendengar alasan ini itu dari Bunda Abah ketika aku tanya kapan mereka akan pulang. Aku jadi merasa was-was terus, seolah mereka sedang menyembunyikan sesuatu.

Dan, hal-hal seperti itu yang membuatku suka lupa untuk selalu berprasangka baik. Ditambah omongan Om Akbar beberapa hari lalu yang mengusik pikiranku. Padahal aku sendiri sudah menepis dugaan-dugaan tidak berdasar itu.

"Iya tunggu ya, nanti Abah pulang kok. Ngomong-ngomong, adeknya udah dijengukin belum kak?" Tanya Abah mengalihkan.

Helaan nafas pelan keluar begitu aja. Aku memang tipikal yang nggak sabaran, apa-apa maunya segera dan segala sesuatunya harus terwujud. Dan Abah juga orang tua yang menuruti semua kemauan anaknya, beda dengan Bunda, yang cenderung lebih selektif orangnya. Aku nggak yakin, tapi permintaanku untuk Bunda Abah agar segera pulang pastinya membebani mereka.

Tuntutan menjadi dewasa kadang memberatkan ketika alam bawah sadar menginginkan aku untuk bertindak tidak sedewasa itu. "Udah kemarin. Besok aku pulang lagi kok, kan Bu Uni saudaranya mau menikah. Jadi ya, mau nggak mau besok aku nginep juga."

"Udah libur kamu, Kak?"

"Aku sih menganggapnya udah, soalnya benar-benar udah nggak ada jadwal apa-apa lagi di kampus. Tapi, tugas UAS aku masih ada beberapa yang belum selesai." Samar-samar aku mendengar suara Bunda di balik panggilan video tersebut. Abah juga teralihkan sejenak saat sudah jelas jika itu adalah suara Bunda.

"Cieee, kangen kita ya." Bunda tiba-tiba muncul di panggilan video tersebut dan langsung menggodaku

Aku merengut kesal dengan bibir yang maju beberapa centi. "Insha Allah, akhir bulan ini kita pulang."

Retina mataku melebar. "Akhir bulan? tanggal berapa? ish! Bunda, kok jadi sebulan sih kalian perginya."

"Paling tanggal dua puluhan. Ya Ampu Kak, tiga hari lagi juga udah masuk tanggal dua puluh." Aku merenggut kesal. Lalu kemudian pintu kamar terbuka, menampakan sosok Kak Aidan yang baru saja pulang sholat jumat.

Aku bangkit untuk mencium tangan Kak Aidan tanpa mengalihkan tatapan dari layar benda pipih di tanganku. "Tetep aja lama," Cetusku.

"Apa, sih cemberut aja." Pipiku dicubit Kak Aidan gemas kala matanya melirik layar ponselku.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang