Chapter 72

1.1K 99 50
                                    

Sekarang syarat sebelum baca, wajib vote dulu dan spam komen "Next"
waktu usai.😊

Selamat membaca

Kain batik dan baju beskap hitam polos, serta blangkon yang awalnya dipakai tapi sudah dilepas. Aku tidak berhenti berdecak kagum. Kak Aidan terlihat gagah dan tampan di waktu bersamaan. Definisi mas-mas jawa yang menghabiskan kosa kata tampan yang ada. Sampai-sampai aku tak rela ketika banyak sepasang mata kaum hawa yang tertangkap sering mencuri-curi pandangan padanya.

Kami memang tidak sedang dalam jarak yang berdekatan, melainkan aku duduk di salah satu kursi tamu yang tersedia bersama mama dan Kaluna. Sedangkan papa dan Kak Aidan, intinya orang-orang berseragam itu berada di sisi lain aula. Tak sekali dua kali juga, mataku dan Kak Aidan saling bertabrakan. Seolah kami memang sama-sama saling curi pandangan dari kejauhan.

Sebenarnya acara pernikahan seperti ini jarang sekali mau aku hadiri ketika Bunda Abah sering mengajak. Aku tidak begitu menyukai keramaian, dimana banyak suara dan wajah orang tak dikenal. Diam tidak melakukan apapun bisa menghabiskan energi. Ya, karena selalu didorong dengan kepalsuan diri yang mengharuskan bersikap ramah dan sopan. Seperti yang papa dan mama lakukan selama acara ketika bertemu rekan dan orang terdekat untuk mengenalkanku sebagai menantunya.

Aku kembali ke meja lingkaran yang sejak tadi menjadi tempatku, mama, dan Kaluna duduk. Karena yang aku dengar beberapa tamu undangan diberikan sesi jam untuk datang, mendekati siang, perlahan tamu mulai berkurang. Dan pengantin pun sudah menghilang di atas pelaminan mengganti baju untuk menyambut tamu di sesi setelahnya.

Belum sempat aku mendekat ke meja, Kak Aidan tiba-tiba muncul dan menghadangku. "Hai, Boleh minta nomornya?"

"Nggak." Aku berlalu melewatinya sebelum pergelangan tanganku ditahan dan aku berbalik badan.

Kak Aidan tertawa kecil. "Ke kamar yuk. Aku capek banget, mau istirahat sebentar." Jujur aku juga merasakan hal yang sama dengan Kak Aidan

"Ya udah, tunggu. Aku bilang sama papa mama dulu, takut nanti nyariin."

"Nggak usah, Ra."Kak Aidan menoleh ke belakang. Aku mengikuti arah pandangannya dan menghela nafas pelan.

"Stop."Kak Aidan membentang sebelah tangannya, menghalangi jalan Kaluna yang baru saja mengambil es cream di kedua tangannya.

Gadis itu berdecak kesal. "Apa?" Tanyanya sewot

"Abang sama Kak Rahil balik ke kamar. Nanti selepas zuhur turun lagi."

"Ya, terus? Mau aku anterin sampai kamar?" Tanya Kaluna malas

"Bukan, minta tolong bilangin ibu bapakmu, takut nanti nyariin."

"Ibu bapakmu juga." Ralat Kaluna pada ucapan Kak Aidan

"Ya udah," Sambungnya kembali mode ogah-ogahan.

"Amanah nih. Jangan lupa di sampein."

"Iya nanti aku bilangin."

"Awas kalo nggak di sampaikan." Kak Aidan memperingati

"Bawel, Abang. Iyaa."

"Bagi satu. Ayo, Ra." Kak Aidan menarik tanganku setelah merampas satu cup es cream milik Kaluna

"Ya Allah Abang. Abang iiihhh." Kaluna merengek saat kami sudah jauh

Aku yang memang sudah tau endingnya hanya bisa menggelengkan kepala."Emang paling bahagia ya kamu, Kak, kalau jailin orang." Aku mencibir. Kak Aidan menaik turunkan kedua alisnya.

Saat ingin menuju lift. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Saras. "Mas!" Tentu orang pertama yang dia sapa Kak Aidan.

Aku berusaha untuk tidak penasaran dengan perempuan itu, tapi dia seolah terus memancing rasa penasaranku.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang