Chapter 70

1.1K 107 10
                                    

Vote dulu sebelum baca😊
40 Vote dan komen "Next" untuk tiket update besok malam.

Selamat membaca

Perjalanan yang ditempuh kurang sebelas jam itu hanya berisikan keheningan. Mataku memang sedang menatap buku yang aku pegang, tapi justru fokusku tidak di sana. Melainkan, sedari tadi otakku berisik memikirkan hal lain.

Hari dimana aku dan Kak Aidan berangkat ke Jogja adalah hal yang paling mengganjal sekaligus membingungkan, terutama bagi diriku. Keadaan seperti mendorongku sejenak, untuk tidak mengekspresikan apa yang masih aku rasakan melalui sikap.

Keheningan terjadi sebab aku lebih prepare membawa buku novel supaya saat perjalanan Kak Aidan tidak mengajakku berbicara. Tetapi, setelah itu terjadi dan berhasil, logika mengajakku untuk berpikir bahwa, aku tidak bisa terus menghindar seratus persen berinteraksi dengan Kak Aidan. Karena bagaimanapun, selama tiga hari ke depan aku akan selalu berada di dekatnya. Yang otomatis menghindar bukalah hal memungkinkan.

Pada akhirnya, fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi satu sama lain, apalagi dalam hubungan berpasangan, tentunya sikapku yang terus mengunci diri dari segala bentuk komunikasi bertentangan dengan itu semua.

Aku menutup buku Secret Of Divine Love, Kemudian aku letakkan di atas dashboard mobil. Kak Aidan menoleh sekilas. "lima ratus meter lagi ada rest area, kamu mau beli sesuatu?"

Aku yang sedang minum teh kemasan berbentuk kotak, mengangguk. "Biasanya kalau perjalanan jauh, aku sering mual. Kayaknya perlu beli wangi-wangian aroma terapi." Kali ini aku berbicara panjang

"Kita nggak punya aroma terapi memangnya? Perasaan Bunda udah bilang sama aku untuk bawa, katanya jaga-jaga kalau kamu mual selama perjalanan."

"Aku dengar Bunda bilang itu ke kakak. Tapi, sayangnya Kak Aidan lupa." Aku mengambil ponsel dan menunjukkan pesan Bunda yang bilang Kak Aidan lupa bawa aroma terapinya.

"Nih, ... sejam lalu Bunda bilang dan minta untuk beli aja di rest area."

"Ya Allah... ya udah nanti kita beli. Kenapa kamu baru bilang sama aku?"

"Lagian kalau aku bilang, memangnya kakak mau balik lagi?"

"Setidaknya satu jam lalu waktu Bunda kirim pesan, kita masih bisa beli di rest area sebelumnya, sayang."

"Beli di mana aja juga sama kok. Aku juga masih oke, belum mual...Nanti aku boleh jajan cemilan, nggak?" Pintaku memandang Kak Aidan

"Cemilan yang Bunda bawa nggak di makan?"

"Aku makan. Cuman, aku butuh rasa makanan yang agak bermicin gitu. Boleh ya? satu aja deh."

"Justru Bunda bawain cemilan, supaya kamu nggak jajan sembarang. Tapi, kamu malah minta cemilan bermicin. Itu kamu juga bawa banyak kan? Minuman teh kemasan kotak itu." Kak Aidan melirik minuman teh kemasan yang tengah kupegang

"Nggak banyak. Cuman tiga." Aku merevisi

"Tiga itu, itungannya banyak." Dia kekeh

"Hidup kakak terlalu kaku. Sekali-kali bandel nggak apa-apa tau." Aku menghasutmya

"Satu aja, please... kalau nggak, aku cubit nih." Aku menyentuh tangan Kak Aidan yang ada di kemudi dua-duanya dan mengambil ancang-ancang untuk mencubitnya.

Kak Aidan menarik sudut bibirnya."Nggak, nggak boleh—akh!" Aku sungguhan mencubit tangannya

"Boleh." Paksaku

"Kalau aku bilang engga ya engga. Nurut, sih, tadi kan kamu bilang aku kaku. Ya, beginilah jadinya. Kamu harus ke bawa di hidup kaku-nya aku." Dia sengaja sekali ingin membuatku kesal

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang