Chapter 41

1.3K 125 0
                                    

Paginya, aku inisiatif menyiapkan sarapan karena Bunda masih harus packing baju-baju kedalam koper untuk pergi esok. Setiap sarapan pagi, Bunda jarang sekali memberi asupan makanan yang tinggi akan gula, seperti nasi putih misal. Selain menghindari tingginya kadar gula dalam tubuh, mengkonsumsi sarapan dengan nasi putih rentan akan mengantuk di pagi hari katanya. 

Takdirnya, aku bertemu Kak Aidan yang juga sangat menjaga pola makannya. Dia lebih memilih alternatif sarapan lain seperti makanan rebusan atau roti. Tapi, dalam kondisi mendesak seperti dalam perjalanan atau belum sempat belanja, lontong sayur, nasi uduk atau nasi goreng, menjadi opsi terakhir sarapan pagi baik di keluargaku maupun saat bersama Kak Aidan.

"Assalamualaikum." Bertepatan Abah dan Kak Aidan pulang sarapan yang aku siapkan sudah matang. Mereka berpisah untuk mengganti baju di kamar.

Karena Abah suka sekali makanan rebusan, aku merebus edamame yang kebetulan sebelumnya memang Bunda yang menyuruh, katanya sekalian menghabiskan bahan di lemari pendingin. Pancake pisang, smoothies, roti ala sandwich, terakhir susu coklat hangat untuk Haikal yang pagi itu Abah ajak untuk subuh bersama di masjid dengan Kak Aidan.

"Kak, ini apa? aku mau dong."

"Nanti kamu nggak suka, udah minum susu aja, aku udah buatin." Haikal meminta smoothies yang baru akan aku tuang ke dalam gelas.

"Iya, tapi ini apa? jus anggur?" Tanyanya penasaran karena melihat warnanya yang dominan ungu.

"Smoothies," balasku. Haikal berlalu entah kemana. Dari belakang tubuh aku mendengar laci rak gelas dibuka. Kemudian Haikal datang kembali, tiba-tiba langsung menyodorkan gelas kecil kepadaku.

"Mau sedikit, aku mau coba." Aku menurutinya

"Tapi, habisin susu kamu ya," Kataku menuangkan smoothies milikku kedalam gelasnya, Sebenarnya aku buat banyak, barangkali Bunda Abah juga mau.

Haikal manggut. Aku membalikkan badan menaruh alat bekas blend smoothies ke dalam kitchen sink. Abah lewat dengan mengucap nada peringatan. "Eh eh, Adek adek ... duduk." Ternyata lagi memperingati Haikal yang minum sambil berdiri.

Dia menurunkan gelasnya yang diangkat tinggi saat minum, lalu menatap Abah dengan cengiran khasnya. "Hehe sudah habis, Ba."

Kak Aidan datang mengacak surai Haikal yang akan mendapat ceramah Abah dengan sudut bibir yang di tarik, kemudian dia menghampiriku. "Ada yang bisa dibantu?"dia tiba-tiba menawarkan diri.

Di apartemen, setiap habis selesai masak atau sehabis makan, Kak Aidan tidak pernah absen membantuku mencuci piring. Atau biasanya di awal dia membuat kesepakatan. Aku memasak, dia mencuci piring. Aku bagian vacum, dia ngepel. Aku jemur, dia yang mengangkat. Begitu seterusnya. Kata Kak Aidan, itu baru namanya love together bukan live together, segala sesuatunya harus dilakukan seimbang sebisamungkin.

"Nggak apa-apa ini tinggal sedikit lagi. Kamu langsung sarapan aja," Elakku.

Acara sarapan pagi yang sudah lama aku rindukan semenjak pindah ke apart. Semua berjalan sama, tidak pernah tidak ada obrolan di meja makan, apalagi Abah dan Kak Aidan yang sebelum makan saja sudah membahas politik sampai merembet kemana-mana. Hingga obrolan mereka berhenti ketika Bunda datang dengan mengenggam handphone di tangannya. Bunda masih saja sibuk, dia sarapan sebentar lalu lanjut menyiapkan keperluan besok pergi.

"Adek, kamu ada Rihlah minggu depan?" Tanya Bunda memastikan

"Iya, " Balas Haikal.

"Tumben baru dikasih tau seminggu sebelum kegiatan, Bun? Biasanya pakai surat izin bertanda tangan orang tua dulu." Abah keheranan

Minggu depan Bunda Abah sudah dipastikan belum pulang. Agaknya aku akan mendapat tanggung jawab baru. Melihat bagimana raut wajah Bunda yang seolah mempermasalahkan kegiatan Rihlah sekolahnya Haikal. Karena sekolah Haikal memang semi pesantren, yang sering mengadakan kegiatan Rihlah untuk mencari suasana baru anak-anak didiknya dalam menghafal Al-Qur'an.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang