Chapter 28

1.4K 143 5
                                    

Hal pertama yang aku lakukan ketika sampai di apartemen adalah menyalakan lampu. Apartemen kami seperti tidak berpenghuni karena gelapnya penerangan menjelang magrib. Setelah itu, aku membersihkan badan siap-siap bergegas menunaikan solat magrib, tilawah sebentar, menghangatkan makanan, dan terakhir solat isya. Terakhir mengerjakan tugas. Aku mengerjakan tugas di ruang tengah, duduk dibawah dengan laptop yang aku letakkan di atas meja sofa yang tingginya masih bisa dijangkau olehku.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali tatkala sudah hampir dua jam menatap layar MacBook. Aku meraih handphone yang tak jauh dari jangkauan untuk mengecek notifikasi yang masuk, setelah beberapa jam aku matikan datanya. Aku beranjak pindah duduk di atas sofa hanya untuk menyelonjorkan kaki karena terlalu lama duduk bersila tadi.

Sambil mengutak-atik handphone dan mengecek segala notifikasi yang masuk sekaligus aku mengistirahatkan diri dengan menyandarkan kepala pada badan sofa. Setelah cukup istirahat dan bermain handphone, aku beranjak menuju kitchen sink untuk menyiapkan teh hijau, karena sebentar lagi Kak Aidan akan pulang.

Aku termenung menatap buih buih air yang sedang mendidih. Sejenak aku hanyut dalam lamunan sampai bunyi pintu terbuka menyadariku. Aku mematikan air yang sudah mendidih, kemudian menuangkannya ke dalam cangkir kecil sedikit demi sedikit.

Kak Aidan masuk dan mengucap salam. Aku membalasnya sambil mengaduk-aduk teh yang baru saja jadi. Aku membalikkan badan dan meletakkan teh hijau di atas meja. Aku menghampiri Kak Aidan bermaksud untuk salim kepadanya, tetapi Kak Aidan tiba-tiba justru malah memelukku dan menyelundupkan wajahnya ke leherku. Belakangan ini, Intensitas komunikasi antara aku dan Kak Aidan sedikit berkurang karena kesibukan masing-masing. Aku dengan hectic-nya semester empat. Kak Aidan dengan skripsinya.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Bingung dengan sikap Kak Aidan. Dengan ragu aku mencoba membalas pelukannya. "Capek ya?" Tanyaku lembut

Perlahan hubunganku dengan Kak Aidan hampir memecahkan tembok besar yang semula masih menghalau kedekatan kami. Ini semua berkat pengakuan Kak Aidan pada malam waktu itu. Dia jadi tidak sungkan melakukan apapun kepadaku, meski masih ada batasan tertentu yang masih terjaga.

"Kepala gue berisik,"lirih Kak Aidan masih dalam posisi memelukku.

Suruh diam coba, batinku menyahut random.

Paham apa maksudnya. Aku mengusap-usap pelan punggung Kak Aidan. Sejenak aku membiarkannya memelukku. Mungkin bisa jadi sedikit penenang untuknya.

"Udah solat isya?" Tanyaku

Kak Aidan menggeleng. Aku tidak tahu apa yang mengganggu pikirannya. Tapi, yang pasti dia sedang tidak baik-baik saja.

"Kak Aidan mandi terus solat isya dulu sana biar lebih enakan. Habis itu baru makan malam," Titahku seperti seorang ibu kepada anaknya.

Dapat kudengar helaan nafas Kak Aidan, "Pelukannya udahan dong," Tutur Kak Aidan enggan mengurai pelukannya.

"Masa iya aku mau dipeluk terus kayak gini. Kamu 'kan mau mandi," Demoku.

"Habis itu langsung istirahat aja. Biar paginya bisa lebih fresh pikirannya." Timpalku lagi mentitah Kak Aidan

"Ikut mandi kalau gitu," Balas Kak Aidan asal

Giliran urusan yang kayak gini aja pikirannya cepat, batinku menyahut.

"Nggak usah aneh-aneh deh. Mandi sana," Perintahku tegas

"Aneh gimana? Orang minta mandiin doang Ra,"Ucap Kak Aidan sembarangan.

"Ya aneh lah, udah gede masih mau dimandiin, memangnya Kak Aidan anak kecil," balasku kesal.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang