Chapter 57

1.1K 126 6
                                    

Masih mau ngingetin, bacanya pelan-pelan sambil di resapi ya, biar khidmat dan feelnya dapat.

Selamat membaca

🕊🕊🕊

Aku berasumsi kemungkinan pekerjaan Kak Aidan belum selesai selepas kembali dari Bandung. Terhitung sudah tiga hari semenjak kepulangannya, dia selalu berangkat pagi dan pulang malam. Ekspetasi tak sesuai realita, nyata Kak Aidan yang bilang di panggilan video kemarin, selepas pulang ingin istirahat, tapi pada akhirnya dia belum mendapati istirahat yang cukup sama sekali. Dibilang khawatir ya pasti, ingat omongan papa waktu mampir kemarin yang mengatakan kalau Kak Aidan bisa acuh dan abai sama kesehatan tubuhnya.

Malam itu niatnya aku ingin masak, karena beberapa hari belakang kami sering delivery makanan sebab aku tidak sempat masak karena harus ngejar deadline tugas ujian. Selepas kembalinya aku dari freshmart untuk membeli bahan masakan makan malam. Dahiku sempat mengernyit mendapati sepasang sepatu yang biasa Kak Aidan pakai keluar tiba-tiba sudah ada di dalam. Dia pulang lebih awal. Aku mendongak tatkala mendapati Pria itu keluar kamar dengan wajah datar. Sekilas dia menatapku tapi seolah menyimpan kekesalan. Feelingku mendadak tidak enak. Perasaanku tiba-tiba takut dan gelisah.

"Lain kali jangan taruh minuman di atas kasur." Dia melipat kemeja yang dikenakan sampai siku saat berjalan menuju kitchen sink untuk mengambil minum.

Aku terdiam mematung berusaha mencerna nada suara dibalik sosok yang sedang memancarkan aura tidak enak di sana.

"Habis ngerjain tugas, rapihin buku, laptop, dan ipad nya atau letakkin di atas meja. Biasain hidup disiplin dan rapi, Ra." Sambungnya tanpa memandangku

Baiklah. Cukup peka aku menerima sinyal dari ucapan Kak Aidan yang tidak bersahabat itu. Tanpa menunggu waktu, aku menaruh barang belanjaan di atas meja makan dan segera masuk kamar. Niat hati ingin membereskan Macbook, iPad, serta buku-buku yang berserakan sehabis mengerjakan tugas tadi, pun segelas jus yang Kak Aidan singgung. Tapi justru waktu masuk aku dibuat meringis. Semuanya sudah dibereskan dan diletakkan di atas meja belajar oleh Kak Aidan. Aku menghembuskan nafas panjang sebelum kembali keluar kamar, bermaksud ingin meminta maaf langsung secara sadar di hadapan Kak Aidan. Tetapi, aku sudah dibuat mematung mendapati Pria itu sedang membuat teh.

Habislah aku

Seharusnya tadi aku tidak menunda bikin teh untuknya. Tapi bukan salahku juga, dia pulang lebih awal tanpa memberitahuku. Aku tau Kak Aidan sadar betul akan keberadaanku. Tapi sepertinya dia memilih untuk abai dan acuh. Tidak salah, Kak Aidan benar-benar sedang marah.

"Kamu sering nyepelein hal kayak gitu Ra. Kurang disiplin, nggak melihat kemungkinan terjadi. Apalagi menaruh minuman di atas kasur, apa iya nunggu tumpah dulu baru sadar itu bukan tempatnya naruh minuman?" Suaranya seketika membuatku pundung. Atmosfer ruangan mendadak berubah suram.

"Maaf. "Aku memainkan jari-jari tangan gelisah. Sungguh, aku takut sekali melihat Ka Aidan yang mendadak bersikap dingan dan datar. "Niatnya sehabis dari luar tadi aku mau beresin kok."

Dia diam tak merespon pun cukup lama aku menunggu tanggapannya. Tentunya hal itu membuatku semakin merasa bersalah dan tidak enak di ruang dada.

"Kalau Kak Aidan kesal hanya perihal minuman di atas kasur dan banyaknya barang-barang bekas aku nugas belum aku beresin, kan aku bisa beresin setelahnya." Aku membela diri

Dia menghela nafas panjang. Aku memandangnya dari samping. "Hanya kamu bilang? Kamu harus tau, Ra. Aku kalau udah marah kayak gini, artinya apa yang kamu lakuin udah di luar batas dan berulang kali. Aku nggak tau kamu sadar atau engga, Ra, tapi cukup mengganjal aku lihatnya, paham? Nggak mungkin juga aku marah hanya karena satu kesalahan. Satu kesalahan bisa kau tolerir dan aku anggap nggak akan pernah terulang. Lain konteks kalau kesalahan yang sama terus berulang kali. Wajar aku marah." Nada berubah tegas dan penuh tekanan.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang