Chapter 58

1.1K 129 7
                                    

Positif menyelesaikan masalah dengan emosi tidak akan menghasilkan penyelesaian. Aidan cukup paham, antara dirinya dan Arron masing-masing diselimuti emosional yang tidak stabil selepas kejadian itu. Apalagi bayangan waktu Arron memfitnah dan menyentuh Rahil dengan ringannya. Gejolak amarah mati-matian Aidan tahan selepas dirinya dan Arron hanya tinggal berdua saja.

"Bang—"

"Besok datang ke cafe, kita bicara dengan kepala dingin. Gue takut kelepasan." Aidan melengos pergi begitu saja kembali ke unitnya.

Kepergian Rahil menyisakan ruang hampa di hati Aidan. Terlalu lelah membuatnya kehilangan kendali atas kekesalannya terhadap gadis itu, hingga masalah sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin justru berakhir panas dan harus mendebat. Aidan resah, tapi dia egonya enggan melangkah keluar untuk menjemput gadis itu karena perdebatan tadi.

Namun, hampir dua jam lebih membutuhkan ruang kosong apa belum cukup untuk Rahil kembali juga?Aidan  tidak ingin larut dalam pertengkaran akibat masalah kecil. Aidan risau dengan segala pikiran negatifnya mengingat seorang Rahil masih sendirian di luar. Biarlah, dia akan mengaku  salah dan langsung meminta maaf di depan gadis itu. Tetapi, niatnya keluar untuk menjemput Rahil justru malah mendapati gadis itu tengah mendebat dengan Arron.

Sontak itu membuat rahang Aidan mengeras. Tidak sampai di situ, kali ini amarah mendominasi tatkala mendapat Arron melontarkan fitnah juga kepada Rahil dan dirinya. Married by accident. Ingin rasanya makian pedas Aidan lontarkan untuk Arron. Serendah itu pikirannya menyangka seorang sudah menikah karena kecelakaan.

Atau bahkan satu pukulan tepat mengenai rahang laki-laki itu karena telah membuat Rahil menahan sakit akibat cengkraman tangannya. Tapi, Aidan cukup waras untuk tidak mengedepankan emosi dalam situasi seperti itu, yang ada dia hanya melebarkan masalah jika mengikuti nafsu. Maka, tetap tenang adalah jalan pintasnya.

Dia kembali ke unit dan langsung membawa langkahnya menuju kamar. Diketuknya pintu dua kali oleh Aidan untuk memastikan bahwa privasi seseorang sedang tidak berlangsung. Tidak ada suara. Aidan meraih knop pintu yang tidak terkunci, kemudian mendorongnya sedikit. Dilihatnya pertama kali oleh Aidan, Rahil yang baru selesai dengan sholat isyanya dan sedang melipat alat sholat dengan posisi membelakanginya.

Aidan diam memperhatikan setiap pergerakan yang gadis itu lakukan sembari dirinya menimang-nimang kalimat yang akan diutarakan dalam otaknya. Rahil yang sadar kehadiran Aidan diambang pintu mencoba untuk abai dan moodnya malam itu mendadak buruk. Rahil seolah lupa niat awalnya yang berencana meminta maaf pada Aidan atas kejadian sebelumnya.

Perasaan kesal, sedih, kecewa, terkejut, semua menjadi satu dalam dirinya sehabis kejadian di bawah tadi. Hal itu berdampak pada apa yang seharusnya malam itu Rahil kerjakan. Dia bahkan belum sempat memasak makan malam dan rencana ingin lanjut mengerjakan tugas tidak terpenuhi.

"Apa yang udah kamu lakuin sampai Arron berani bertindak kayak gitu?" To the point Aidan yang nyatanya dia tidak bisa basa-basi

Pundaknya terlihat menurun kala menghembuskan nafas. Tanpa menoleh Rahil berkata. "Beberapa hari lalu, aku bilang sama dia tentang status kita." Entahlah, padahal Rahil kira Arron cukup menerima begitu saja pada hari itu.

"Selain itu?" Tanya Aidan tanpa menimang kembali dampak dari pertanyaannya. Percik ketidaksukaan Rahil terhadap pertanyaan Aidan barusan jelas tercetak di dahinya. Gadis itu menoleh dengan dahi mengkerut.

"Apa maksudnya 'selain itu?', Kamu mikir apa Kak?" Air muka Rahil manatap Aidan tak percaya. Abaikan jika itu hanya suudzon atau bukan. Tapi, pertanyaan Aidan itu seolah berkonotasi negatif, dan itu melukai perasaannya.

"Aku yakin kamu nggak setega itu untuk mencari pembenaran atas dugaan yang ada di dalam pikiran kamu. Selain itu ..." Rahil mengulangi kalimat Aidan dengan nada mengejek

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang