Chapter 75

1K 103 28
                                    


Vote dulu sebelum baca. Spam komen 'Next' waktu usai.

Selamat membaca

Kesulitan meluapkan emosi kadang kala memang bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Biasanya hal itu disebabkan karena keseringan memendam dan menahan gejolak amarah ketika mendapati masalah.

Sepandai-pandainya Rahil mencoba menutupi sesuatu, Aidan masih bisa membaca hal itu. Tingkah gadis itu sangat kontras dengan ucapannya. Dari sekian banyaknya persoalan dan kendala dalam dirinya dari berbagai sudut aspek sepanjang hidup, memahami persoalan dan kendala Rahil lebih sulit baginya.

Kesepakatan prinsip antar keduanya, untuk bisa saling terbuka satu sama lain, ternyata hanya omongan belakang. Aidan pernah mengingkari prinsip itu, hingga berujung mereka bertengkar. Kini, giliran Rahil yang sepertinya sama, melupakan kesepakatan di awal itu. Entah mungkin balas dendam kepada Aidan, atau mungkin kali ini Rahil memang tidak mau Aidan tau.

Aidan kesal sebab Rahil hanya diam saat dirinya direndahkan oleh orang yang sangat dihindari selama hampir dua tahun belakang. Saras dan Ibunya. Mereka adalah satu hal yang tidak pernah Aidan duga kedatangannya saat dia di Jogja. 

Pria itu memukul pelan sebatang rokok di tangan, hingga debu yang terbakar jatuh. Aidan baru sekali menghisap. Dia menatap lama benda di tangannya itu sebelum membuangnya ke bawa lalu dia injak. Kandungan nikotin bukan lagi pelampiasan Aidan.

Matanya perlahan mulai merasakan kantuk, mengingat jam sudah menunjukkan tengah malam. Aidan bangkit hendak kembali. Pintu smoking area yang berlapis kaca hendak dia geser, sebelum kedatangan seseorang di balik pintu itu yang membuat Aidan seketika memasang wajah tak minat.

Pintu itu digeser oleh Saras. Dia sedikit tergugup. "A-aku mau bicara sebentar."

"Kalau seputar pembicaraan yang sudah-sudah, itu nggak perlu."

"Bukan bukan..." Saras menggeleng cepat. Aidan benar-benar berubah jadi sosok yang berbeda. Dia sangat tak tersentuh dan dingin.

"Tolong bicara yang penting. Istri saya sendirian di kamar dan saya harus kembali." Saras tertampar. Kini dirinya kembali di bawah kesadaran dimana Aidan sudah tidak bisa dia miliki lagi selamanya. Pria itu sudah menaruh hati pada pujaan hati yang dipilih.

Dengan terpaksa Saras harus tersenyum pahit menelan itu. "Oke..." dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. "Aku mau minta maaf atas kelancangan mama aku yang sudah berbicara yang kurang menyenangkan pada Rahil. Saat itu aku sadar dengan ucapan mama. Aku tau, sebagai suami, kamu pasti marah melihat istri kamu mendapatkan omongan yang tidak mengenakan. Sekali lagi aku minta maaf atas mama aku dan aku juga minta maaf atas semuanya."

Saras sadar. Itu yang Aidan tebalkan di otaknya. "Apa yang anda lakukan saat itu? hanya menonton? tanpa mau menegur ibu anda? ...ingat, anda sadar."

Mendengar kata sadar membuat otak Saras terbawa pada masa-masa terpuruknya saat sering melukai diri. Ingatan itu kembali menciptakan gemuruh di dada. Perasaan yang berkecamuk, antara senang dan sedih saat melakukannya.

"Iya, aku hanya menonton." Saras suka melihat Rahil di pojokkan ibunya, tapi dia langsung merasa tidak tega setelahnya. Dan perasaannya itu bergantian sangat cepat.

"Jawaban yang sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Saya harap ini jadi yang terakhir. Saya sudah maafkan, begitupun Rahil yang menganggap kejadian tadi hanya angin lalu baginya. Anda tau? dia mengambil keputusan sederhana setelah mendapati kejadian tidak menyenangkan tadi. Dia hanya ingin pulang. Permintaan sederhana, yang juga saya nantikan. Karena kami sama... sama-sama terlalu enggan bertemu dan melihat wajah orang yang sudah memberi kesan buruk dan menyakitkan." Aidan melewati Saras menuju pintu kaca untuk masuk ke gedung hotel area lobby

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang