Chapter 33

1.3K 130 2
                                    

Beberapa hari terakhir Kak Aidan terlihat sibuk. Weekend pun kadang jarang di apartemen, sekalipun ada, dia berkutat dengan tugas akhirnya. Aku jadi urung untuk membicarakan perihal Arron padanya. Seperti malam itu, sudah terhitung tiga hari aku menunggu waktu yang pas untuk izin.

Aku duduk disampingnya, melirik sekilas apa yang ada di layar laptop itu. Rupanya masih mengerjakan hal yang sama. Pandanganku beralih melirik sorot fokus Kak Aidan saat membaca jurnal-jurnal, serta kulihat coretan-coretan merah dengan catatan kecil di setiap lembar kertasnya. Nafasku menghela pelan begitu saja. Aku jadi urung lagi.

Kak Aidan menoleh sekilas. "Ada apa, Ra?"

Aku menoleh. "Mau bicara sesuatu, bisa?"

"Nanti ya, gue lagi ditunggu ngirim revisian."

Aku melipat kedua bibir seraya mengangguk maklum. "Oke, kalau gitu besok aja... Moga Allah mudahkan skripsiannya kak." Aku menanggalkan senyuman saat Kak Aidan menoleh padaku.

"Makasih doanya." Balas Kak Aidan tersenyum simpul sebelum kembali fokus menggerakkan jari-jarinya pada keyboard laptop.

Aku memajukan bibir beberapa centi saat beranjak dan membalikkan badan. Aku harus segera berbicara tentang Arron dengan Kak Aidan. Mungkin besok aku bisa berbicara dengannya lagi. Sepertinya malam itu dia ingin fokus. Aku juga tidak enak jika menagih lagi.

Keesokannya, di pagi Hari. Aku berniat akan berbicara perihal Arron pada Kak Aidan. Tapi, belum sempat mengatakannya aku lebih dulu urung tatkala melihat Kak Aidan yang pagi-pagi sekali sudah tergesah-gesah untuk pergi. Bahkan tak sempat menyentuh roti selai nanas yang sudah aku buatkan. Dia hanya minum oatmeal, itupun tidak habis, tersisih setengah gelas.

Aku menatap kepergian Kak Aidan setelah salim padanya dengan raut tak terbaca. Kini, punggungnya hilang. Aku memasang wajah cemberut. Aku harus menunda lagi sampai nanti malam. Itupun jika benar-benar Kak Aidan punya waktu luang. Atau aku langsung katakan saja pada Abah—Abah! Kenapa aku tidak teringat mengatakan hal ini pada Abah.

Aku berlari menuju kamar meraih benda persegi panjang yang sedang diisi daya. Aku mencabut kabel cas yang terpasang. Jari-jariku bergerak cepat mencari nomor Abah. Langkah kaki membawa diriku menatap pemandangan lepas kota jakarta di balik jendela. Aku berharap Abah mengangkatnya, meski seharusnya tidak, mengingat di jam-jam segini, biasanya Abah berangkat ke kampus.

"Assalamualaikum, hallo kak."

"Waalaikumussalam, Aba."

"Kenapa?"

"Aba dimana?"

"Lagi dijalan nih mau ke kampus."

"Aba nyetir?" Todongku. Aku sangat melarang keras Abah menyetir dalam beberapa waktu ini.

"Engga, Abah disetirin pak yusuf." Perasaanku lega, pak yusuf suami bu uni memang berkerja juga dengan Abah.

"Kakak mau bicara sesuatu. Kira-kira Abah pulang jam berapa?" Inginnya aku berbicara langsung jika sempat pulang kerumah nanti.

"Mmm, habis magrib mungkin. Kenapa?"

Habis magrib itu lama sekali. Mau sampai rumah jam berapa. Belum lagi melayani Kak Aidan. "Lama juga ya— jadi gini, Ba. Mmm, temen Kakak minta cariin pemuka agama atau ustadz untuk bantu dia syahadat sama belajar agama. Dia minta yang benar-benar dekat sama kita. Supaya nggak perlu lagi cari tau asal usul, apa dan siapa pemuka agama atau ustadz itu. Kira-kira Abah mau bantu temen Kakak nggak?"

"Teman Kakak siapa?" Tanya Abah. Nada bicaranya sudah dapat kutangkap. Sisi strict parents-nya keluar.

"Arron. Sebenarnya Abah nggak kenal. Dia teman seangkatan di kampus. Kebetulan kita jadi penanggung jawab di mata kuliah yang sama dan kelas kita juga sering digabung belajarnya. Jadi ya—lumayan sering ngobrol soal PJ matkul kalau gitu." Aku jika sudah berbicara dengan Abah perihal seperti ini, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Sedikit tips untuk anak strict parents. Bicara jujur dan apa adanya dengan orang tua supaya mendapat kepercayaan penuh dari mereka. Dan, pahami karakternya.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang