Chapter 52

1.1K 121 2
                                    

Kak Aidan bilang, selepas sidang dia tidak bisa langsung pulang kerumah, melainkan teman-temannya mengajak dia untuk makan-makan bersama di cafe. Aku mengiyakan. Malamnya dengan sederhana aku menyiapkan berbagai makanan yang Kak Aidan suka, setelah sebelumnya aku menghubungi papa via telepon untuk bertanya makanan apa yang dia suka.

Papa awalnya bingung, karena Kak Aidan tidak pernah rewel dalam menjajal makanan apapun, kecuali ya, batu dengan rumput, baru dia nggak suka. Tapi, pada akhirnya ada satu makanan yang begitu mencolok di antara selera makanan lainnya. Papa bilang, Kak Aidan suka makanan tumisan, apapun itu tumisannya. Lalu, aneka makanan perasam manisan. Aku mendengar itu spontan langsung berpikir, selama ini Kak Aidan sering makan makanan seperti itu, pantas saja dia selalu lahap dan tidak pernah protes.

Dengan sedikit tenaga yang dikerahkan untuk memasak, tentu di samping itu aku dibantu Bu Uni untuk membuat makanan yang rencananya akan menjadi makan malam untuk Kak Aidan pulang nanti. Dan jangan lupa meski seharian tadi aku dilarang untuk melakukan apapun. Aku melewatkan kesempatan itu untuk menyalin narasi opini yang Kak Aidan kerjakan ke dalam kertas folio. Aku juga hari itu benar-benar tidak melakukan apapun selain dikamar dan mengerjakan tugas lainnya, seperti mencicil tugas project jurnal.

Setidaknya ucapan Kak Aidan ada benarnya juga, seharian ini aku hanya istirahat dan tidak melakukan apapun membuat keadaanku semakin membaik. Aku makan lalu minum obat dengan dibantu dan dirawat Bu Uni. Bunda Abah juga sempat menghubungiku dan menanyakan kabarku tadi. Aku juga tadi sempat menangis merindukan mereka berdua, padahal belum ganjil satu minggu ditinggal.

Bu Uni sudah pulang selepas magrib tadi, dan kini aku tengah duduk diruang tamu menunggu Haikal pulang sholat dari masjid dan Kak Aidan yang sedang dalam perjalanan pulang. Sembari menyetel video youtube, kisah tentang Nu'aiman yang dibawakan oleh Habib Ali Zaenal Abidin. Entah tayangan itu sudah berapa kali aku nonton, intinya aku tidak pernah bosan karena meningkatkan moodbooster. Membayangkan betapa irinya dengan sahabat yang bahkan tega menipu Rasulullah dengan sebotol madu, tetapi mendapat jaminan surganya Allah.

Mendengar suara motor dari luar yang bisa aku pastikan itu adalah motor Kak Aidan dengan segera aku berlari ke depan rumah untuk menemuinya. Malam itu aku sedang senang mengingat Kak Aidan telah berhasil dan lulus dengan nilai terbaik di sidang tugas akhirnya setelah di perjuangannya selama ini. Bahagiannya nular, kurang lebih begitulah. Aku merentangkan tangan sambil melompat-lompat kecil kala Pria itu membuka helm dan menurunkan standar motornya.

Dia menghampiriku dan menyambut pelukanku. "Barakallah yeay!" Seruku memeluknya erat.

Dikecupnya puncak kepalaku oleh Kak Aidan. "Makasih."

"Jadi, gimana perasaan anda hari ini?" Aku mengangkat kepalan tanganku ke atas seolah itu adalah mic.

Kak Aidan merangkul pinggangku. Kami sama-sama jalan masuk ke dalam rumah. "Alhamdulillahi, Masih nggak nyangka ada di tahap ini. Lega banget, Ra."

Aku memukul bahunya pelan. "Masha Allah, ih kerennya ..." pujiku.

Kak Aidan tersipu. Detik selanjutnya wajahnya itu berubah tajam menatapku sebelum telapak tangannya menyentuh jidatku. "Nggak panas ..."Gumamnya. Aku menyunggingkan senyuman

"Udah enakan badannya?"tanyanya

Aku berdehem. "Alhamdulillah, better than before."

"Obatnya diminum lagi malam ini, udah diminum belum?" Tanya Kak Aidan

Aku menggeleng. "Belum makan. Kan harus makan dulu. Kak Aidan bersih-bersih dulu sana, makan malamnya udah siap. Tadi Bu Uni masak untuk makan malam, terus aku request deh." Kak Aidan mengangguk, mengiyakan.

Aku menghangatkan beberapa makanan yang ke dalam microwave, serta menyiapkan teh hangat untuk Kak Aidan. Tak lama dari itu adikku, Haikal pulang.

"Wii cumi tepung asam manis! mau makan dong kak." Baru masuk sudah melipir ke dapur untuk melihat apa yang sedang aku lakukan.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang