Chapter 08

1.7K 169 0
                                    

Aku menutup pintu kamar dengan pelan. Waktu sudah akan menunjukan hampir tengah malam. Habis sudah tenagaku terkuras demi mengerjakan semua tugas-tugas kuliah. Kini semua tugasku telah selesai, baik itu yang memiliki deadline besok maupun yang masih beberapa hari lagi.

Bagiku cara yang paling ampuh agar otak berjalan dengan cepat adalah ketika aku mengerjakan tugas yang berdekatan dengan waktu pengumpulannya, disitu entah mengapa otakku justru cepat sekali kerjanya. Berbanding terbalik sekali saat aku mengerjakan tugas yang memiliki deadline yang cukup lama.

Terkadang terbesit dalam benakku 'apakah aku normal?' Tapi ernyata tidak. Teman-temanku juga kerap kali merasakan hal yang sama denganku.

Aku melangkah menuruni anak tangga, untuk mengisi air dalam gelas. Sedari aku mengerjakan tugas tadi aku belum membasahi tenggorokan setelah berjam-jam lamanya. Aku menapaki kaki dilantai satu rumah. Mataku mengarah pada lampu ruangan yang masih menyala. Tepatnya, itu adalah ruang kerja Abah. Aku bergegas menuju dapur untuk mengisi gelas ari minum, setelah itu melihat Abah.

"Aba,"Panggilku menyembulkan kepala dari balik pintu.

"Hm?"

Abah yang sedang fokus mengalihkan tatapannya ke arahku, aku tidak bisa melihat jelar layar laptop Abah. Tetapi saat mendapati kehadiranku Abah langsung mengubah layar laptopnya menjadi-entah apa intinya pada bagian atas sebelah kiri terdapat logo universitas tempat Abah mengajar. Aku tidak ambil pusing.

"Kok belum tidur, Kak. Udah jam berapa ini, "Kata Abah seraya melepas kacamatanya.

"Baru selesaiin tugas. Abah masih sibuk?" Tanyaku.

"Engga, ini Abah sebentar lagi selesai," Kata Abah. Aku merebahkan badan di sofa yang jaraknya tak jauh dari meja kerja Abah.

"Kakak tidur sana, udah malam, nanti ngantuk bangun subuhnya lagi." Suruh Abah yang kembali membuka buku pasalnya. Suruhannya aku hiraukan, sebab aku ingin menanyai suatu hal kepada Abah. Yang tak lain dan bukan mengenai persoalan Abah yang tiba-tiba memberitahu soal khitbah itu.

"Mmm, Ba." Panggilku, mataku menatap langit-langit atap rumah.

"Hm," balas Abah.

"Terkait ta'aruf yang tiba-tiba berubah jadi khitbah itu, ... kenapa deh? Aku penasaran." Tanyaku to the point.

Aku melirik sekilas kearah Abah yang masih berfokus menatap bukunya. Samar-samar, kulihat Abah menyunggingkan senyuman tatkala matanya masih menatap tulisan-tulisan di buku. Aku menoleh kemudian mengernyit. Masih dengan senyuman pada bibirnya yang tertahan, Abah menjawab.

"Itu berubah bukan karena kemauan Abah,"Kata Abah sukses membuatku diam berpikir.

Kalau bukan kemauan Abah, kemungkinannya hanya ada dua. Ta'aruf itu berubah karena keinginan orang tua Kak Aidan, atau karena permintaan Kak Aidan sendiri. Tapi, aku kurang yakin dengan kemungkinan yang kedua. Logikanya, mana mungkin dia mau langsung mengkhitbah seseorang yang notabene adalah masih orang asing baginya.

Aku pun jika memposisikan diri sebagai Kak Aidan tidak akan mengambil keputusan secepat itu. Memangnya ada orang yang ingin menikah, tapi dia tidak tau seluk-beluk dari pada calon pasangannya. Kecuali kalau memang dia dijodohkan. Jadi, dapat kusimpulkan ini kemauan kedua orang tuanya Kak Aidan.

Aku menatap Abah. "Berarti itu kemauan orang tuanya, iya kan? Iya pasti. Kenapa mereka buru-buru banget, Ba, Sampai-sampai orang tuanya pengen cepet-cepet anaknya dapat pasangan. Kalo misal belum takdir anaknya buat dapat pasangan saat ini, Ya ... Kan bisa nanti-nanti. Lagian, jodoh itu nggak perlu di jemput, nanti juga datang sendiri, bener 'kan, Ba." Cerocosku panjang lebar dengan percaya diri sekali

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang