Chapter 55

1.2K 117 2
                                    

Kemarin Haikal sudah mempersiapkan keperluan untuk keberangkatan Rihlah-nya selama empat hari. Senin paginya, aku ikut memperhatikannya lagi saat mengecek semua barang bawaan, sembari memastikan tidak ada yang tertinggal dan lupa untuk di bawa.

"Udah? Nggak ada yang ketinggalan?" Aku menatap adikku, Haikal. Dia ikut terdiam setelah aku berkata demikian—mungkin ikut memikirkan hal lain yang perlu dibawa.

"Insha Allah udah semua, Kak. Ibu udah pastiin juga tambahan barang dari Bunda," Sahut Bu Uni menimpali. Pagi itu sarapan aku dan Haikal di siapkan Bu Uni.

"Ibu, bantal kepala cheetah Haikal," Seru Haikal tiba-tiba.

Aku mengernyit bingung. "Kamu bawa itu?" Tanyaku belum sempat Haikal jawab karena anak itu sudah melengos duluan ke kamarnya.

"Buat apa dia bawa bantal kepala, Bu?" Aku melipir ke dapur dan menarik salah satu kursi meja makan kemudian bertanya pada Bu Uni.

Bu Uni menghidangkan sereal untuk Haikal dan roti panggang isi sayur dan telur untukku. "Nggak tau, Ibu. Bunda juga nggak ada bilang bawa bantal kepala." Bu Uni juga bingung

Haikal kembali dengan bantal yang dimaksud, dan sudah dikalungkan di leher. Dia tersenyum merekah setelah mengalungkan bantal tersebut seolah sangat berharga bila dibawa.

Dia menggeser kursi meja makan disampingku. "Biar waktu ngafal terus ngantuk, aku bisa tidur dimana aja deh." Haikal tiba-tiba menjelaskan maksudnya membawa bantal kepala

"Udah kepikiran tidur aja kamu. Emang nggak ditegur guru?" Tanyaku sambil menggigit roti di tangan.

Dia menggeleng dengan mulut yang masih mengunyah sereal. "Enggalah. Kan yang penting aku setoran hafalan dulu, baru boleh deh tidur-tiduran kalau ngantuk."

"Orang tuh setoran ayat supaya nambah banyak hafalannya, kamu malah mikir tidur sesudahnya... Udah dapat berapa juz emang?" Dibandingkan dengan Haikal, aku sebenarnya punya hafalan Qur'an yang stuck sejak lulus SMA, tidak kurang tidak juga bertambah.

"Yee, kan aku bilang kalau ngantuk. Kalau nggak ngantuk ya aku lanjut ngafal... udah dapat sembilan mau sepuluh juz dong." Haikal menaik turunkan alisnya. Dia jauh lebih baik dalam menghafal. Sebenarnya sistem sekolah Haikal denganku tidak jauh beda, bukan pesantren bukan juga sekolah khusus Qur'an.

Tapi, Abah mendaftarkan Haikal pada program khusus tahfiz di sekolahnya. Jadi, kalau kebanyakan anak murid biasa mendapat minimal harus tiga juz hafalan sebelum lulus, maka Haikal harus lebih dari itu.

Dulu saat SMA pun aku sama. Sekolah memberi minimal keharusan hafal tiga juz Al-Qur'an sebelum lulus. Dan aku salah satu orang yang memenuhi syarat minimal itu karena kesibukan kasus organisasi di SMA dulu yang banyak mengambil alih waktu.

Meski hanya tiga juz, sesekali aku menyayangkan jika tiga juz itu tidak aku murajaah dengan rajin. Mengingat dulu aku menyempatkan selalu setor hafalan sampai harus ngejar-ngejar guru saking over attention-nya terhadap organisasi, yang kebetulan dulu level tertinggi kesibukanku karena menjabat sebagai wakil osis.

Acara Rihlah Haikal kali ini memang hanya dikhususkan untuk anak-anak yang masuk ke program tahfiz, meski anak-anak yang lain sudah libur sekolah. Tapi agenda ini memang menjadi agenda rutin yang bertujuan untuk memperbanyak dan memperkuat hafalan dengan suasana baru.

Haikal berangkat di antar pak Yusuf, suami Bu Uni. Aku diam termenung di meja makan selepas makan. "Kak, pagi-pagi udah bengong. Nggak ke kampus?" Tegur Bu Uni yang sedari tadi sibuk berkutat di dapur

"Aku nggak ke kampus hari ini," Jawabku sambil merenggangkan badan. Badanku jadi pegal-pegal, aku kurang olahraga dan sering tidur larut. Mungkin tiga puluh menit treadmill tidak masalah.

Rahil : 𝘜𝘯𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘐𝘮𝘢𝘮 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang