"Ada seribu cara untuk mencapai kesuksesan, dan setiap orang memiliki cara yang berbeda menurut diri mereka masing-masing."
•°•°•°•°•Serambi Masjid•°•°•°•°•
-
-
-
Kata orang, rumah adalah istana. Kata orang, rumah adalah surga yang selalu menaungi kita dengan kedamaian. Dan kata orang, keluarga adalah tempat pulang.Namun, bagaimana bisa rumah disebut sebagai istana jika di dalamnya penuh penekanan seperti sebuah penjara? Bagaimana bisa rumah disebut sebagai surga jika memasukinya saja menimbulkan derita bak di neraka? Dan bagaimana bisa keluarga disebut sebagai tempat pulang jika mereka tidak memberikan kenyamanan?
Bagi seorang Ilana Adzkiya, rumah adalah tempat yang paling menyeramkan. Bukan karena banyak mahluk tak kasat mata yang menghuni rumahnya secara diam-diam, tapi justru beberapa manusia yang ia anggap lebih menyeramkan, yaitu keluarga. Rumah tidak memberinya kedamaian, justru penderitaan. Keluarga bukanlah tempat pulang.
Hal itu terjadi lagi. Seperti biasanya, suara bising membelah keheningan malam. Teriakan nyaring memenuhi rumah sederhana yang masih terang di tengah desa. Terdengar sangat jelas diikuti suara barang-barang yang berjatuhan lantaran dilempar dengan sembarangan.
"Kamu tahu seberapa lelahnya Bapak cari uang ke sana kemari untuk menyekolahkan kamu?! Tapi, kamu justru selalu mengecewakan!"
Ilana menyeka darah yang mengalir di keningnya akibat terkena sudut buku rapor yang Bapak lemparkan dengan keras kepadanya. Semua angan-angannya musnah seketika. Bayangan tentang bagaimana Bapak memeluknya sembari mengungkapkan kebanggaan karena telah lulus dan masuk lima besar nilai ujian terbaik di sekolahnya, sirna begitu saja. Justru, yang sekarang ia dapatkan adalah amukan Bapak.
"Bapak penginnya kamu masuk tiga besar, bukan lima besar! Bahkan kalau bisa juara satu!" kata Bapak dengan penuh penekanan. Wajahnya sudah memerah. "Pokoknya nanti kamu kuliah di jurusan yang sudah Bapak tentukan."
Kepala Ilana mendongak, memberanikan diri untuk menatap tepat pada mata bapaknya yang tampak menggelap. "Ila nggak mau, Pak. Ila nggak punya keahlian di jurusan yang Bapak pilih, dan Ila sudah menentukan jurusan yang sesuai sama keahlian Ila."
Itulah sederet kalimat yang pertama kali Ilana ucapkan setelah sedari tadi hanya mematung di tempat dan hanya diam. Kali ini, Ilana benar-benar menolak keinginan Bapak yang sangat bertentangan dengan keinginan dan kemampuannya.
Meski banyak juga yang mengatakan bahwa tak apa jika kita melakukan suatu hal dengan terpaksa, sebab nantinya pasti akan terbiasa. Tetapi, bagi Ilana, dirinya sudah selalu memaksakan banyak hal yang selalu diinginkan orang-orang. Dirinya selalu dituntut untuk sempurna di mata mereka. Sampai-sampai ia kehilangan jati dirinya. Dan kali ini, Ilana ingin sekali saja melangkah tanpa ada rantai yang seolah mengikat leher dan menjadi kendali atas hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serambi Masjid
Fiksi Remaja[Romance - Spiritual] Dunia Ilana itu hanya dipenuhi luka, derita, dan air mata. Terlebih, setelah mamanya tiada, rasa sakit yang Ilana rasakan kian luar biasa. Hingga Ilana lupa bagaimana cara untuk tertawa. Kepahitan hidup yang semakin menjadi-ja...