SANDYAKALA AMERTA : 40. ARKA DAN KENANGAN

47 4 3
                                    

***

“Nayla, Arka sama siapa? Siapa dia?”

Deg

“Hallo, ma. Suara mama gak kedengaran, kayanya jaringannya gak bagus, ma. Nayla tutup ya, dadah Ma.” Dengan cepat perempuan itu mematikan sambungan teleponnya, oh tidak. Apakah tadi ibunya benar-benar melihat Arka bersama Anna, jika iya, maka ini akan menjadi rumit. Pasti nanti, saat ia pulang ibunya akan mengintrogasinya. Nayla menghembuskan nafas pelan, setelah sambungannya berakhir, perempuan itu kembali mengubah ekspresinya menjadi datar.

Diam-diam Arka mendengarkan percakapan Nayla, dari awal sampai yang terakhir. Arka juga melihat senyuman lembut perempuan itu yang sudah lama tidak pernah dirinya lihat. Lalu, tadi, minum obat? Obat apa? Apa perempuan itu sakit? Itulah yang ada di pikiran Arka sekarang. Perempuan itu tidak menampilkan ekspresi apapun, bahkan perempuan itu tidak mau melihat ke arahnya. Menganggap dirinya tidak ada di sini. Apakah benar Nayla sudah tidak mencintainya lagi? Apakah secepat itu perasaannya berubah? Ah ia muak dengan situasi ini. Memikirkannya membuat kepala Arka sakit, laki-laki itu memijit pangkal hidungnya pelan.

“Arka, kamu gapapa?” tanya Anna khawatir mencoba menggenggam tangan Arka, namun Arka menghindar. Muak sekali ia melihat perempuan yang ada di sampingnya ini.

“Gue gapapa, tolong jangan melewati batas Anna,” ucap Arka tajam, saat melihat perempuan itu yang mencoba menyentuh tangannya. Anna pun perlahan menjauhkan tangannya dari Arka.

“Kamu mau minum?” tanya Anna lagi, mengambil minuman yang di atas meja dan memberikannya pada Arka, tetapi cowok itu menolaknnya.

“Gue gak mau,” ucapnya setelahnya cowok itu bangkit hendak meninggalkan kantin. Saat itu pula ia berpapasan dengan Nayla yang hendak membayar makanannya. Perempuan itu hanya menatapnya sebentar kemudian membuang muka dan melanjutkan langkahnya. Tatapan mata Nayla itu menyiratkan kebencian? Apakah sekarang dirinya benar-benar di benci oleh perempuan itu? Sakit sekali rasanya, melihat tatapan Nayla yang sangat asing untuknya.

Setelah membayar makanannya Adel dan Nayla melangkah keluar kantin tanpa merubah ekspresinya. Dalam hati Nayla memaki Anna, menjijikan sekali. Bahkan ia muak mendengar nama perempuan itu. Kalian boleh memaki Nayla pendendam. Tetapi, memang begitulah adanya. Nayla akui dirinya orang yang pendendam, meskipun ia memaafkan tetapi bukan berarti ia melupakan.Jika ia sudah benci jangankan bertemu, mendengar namanya saja sudah muak.Ah, dia benat-benar membenci wanita itu.Ah iya, jangan lupakan laki-laki yang ada di samping perempuan itu. Tidak ia duga, jika Arka akan menghianatinya secara terang-terangan seperti ini.

Nayla memilih membelokkan dirinya ke taman. Ia ingin tenang sebentar. Perempuan itu duduk di bawah pohon, dengan tatapan menerawang ke langit. Sudah berapa lama ia seperti ini? Satu minggu? Dua minggu? Tiga minggu? Bahkan sudah hampir satu bulan? Ah tidak terasa ini sudah bulan September. Satu setengah bulan yang lalu ia masih bisa tersenyum, tertawa, tetapi sekarang untuk tersenyum pun rasanya sulit. Jika boleh mengeluh, ia sangat lelah sekarang. Ia ingin pulang, tetapi Tuhan tidak mengizinkan itu.

Nayla menatap kedua tangannya yang di perban. Buktinya nyata percobaan bunuh diri yang ia lakukan, Nayla menghembuskan nafas pelan, menatap sebuah bangku yang tidak jauh dari sana. Bayangan-bayangan dirinya bersama Arka di sana berputar secara abstrak. Saat dimana Arka memintanya menjadi teman laki-laki itu, saat dimana Arka berjanji tidak akan meninggalkannya. Tanpa sadar satu bulir cairan bening terjun bebas di pipinya. Dengan cepat perempuan itu menghapusnya kasar. Tidak, tidak mengapa ia seperti ini. Setelah beberapa saat perempuan itu memilih untuk pergi.


***

Di sisi lain dua orang sedang bersembunyi di balik pohon besar memantau sebuah rumah di depannya. Setelah cukup lama mereka menunggu akhirnya yang mereka tunggu keluar dari kediamannya. Perempuan itu menggunakan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, dengan sebuah kerudung yang ia gunakan untuk menutupi sebagian wajahnya. Di ujung jalan, sudah ada sebuah taksi yang menunggunya setelahnya perempuan itu masuk dan melesat ke tempat tujuan. Dua orang yang tadi mengawasi perempuan itupun mengikutinya dari jauh menggunakan mobil hitam. Jalan yang mereka lalu masih sama seperti tempo lalu, sepertinya perempuan itu ingin menuju tempat yang sama.

Sandyakala Amerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang