SANDYAKALA AMERTA : 14. HARAPAN

44 7 2
                                    

***

“Nayla,” panggil Arka, perempuan itupun menoleh padanya. Kemudian, Arka mengambil tangan Nayla dan menggenggamnya, Arka menatap Nayla dalam.

“Gue gak bisa berkata-kata gombal, gue juga gak bisa berkata-kata romantis,” jeda sebentar sebelum Arka melanjutkan perkataanya. “Tapi, gue gak bisa buat bohongin perasaan gue lebih lama lagi, Nay. Gue suka sama lo. Lo mau kan, jadi pacar gue?”

Nayla terkesiap di tempatnya, barusan dirinya tidak salah dengar kan? Arka baru saja menyatakan perasaannya? Tidak, tidak Nayla pasti salah dengar, itu tidak mungkin. Perlahan, Nayla melepaskan genggaman tangan Arka di tangannya. “Arka, lo lagi gak bercanda kan?” tanya Nayla memastikan, bisa saja Arka itu bercanda kan?

“Gue gak bercanda Nay, gue serius. Gue suka sama lo.” Nayla menggeleng tidak percaya mendengar ucapan Arka. Bukankah, selama ini mereka hanya berteman, lalu apa ini semuanya?

“Arka, lo tau kan, selama ini gue nganggep lo teman gue, tapi apa maksudnya ini semua Arka?” tanya Nayla menatap Arka tidak percaya, kaget? Tentu saja, Nayla pikir perhatian Arka selama ini padanya hanya sebatas teman, tetapi siapa sangka jika Arka menaruh perasaan padanya.

“Nayla, lo berhak marah sama gue. Lo juga berhak kecewa sama gue. Tapi, gue gak bisa ngatur perasaan gue, buat gak suka sama lo, Nay. Dari awal gue ketemu sama lo, sampai saat ini perasaan ini gak pernah berubah Nayla.” Arka mengatakannya dengan serius, terlihat jelas jika laki-laki itu frustasi, bagaimana caranya berbicara cukup menggambarkan perasaannya saat ini.

Nayla tidak bisa menerima ini, terlalu sulit untuk di percaya. Laki-laki itu baru saja menghancurkan kepercayaannya, bagaimana mungkin bisa Arka menaruh perasaan padanya. Itu semua membuat Nayla pusing, perlahan rasa sesak menyerang perasaan Nayla. Harusnya, Arka tau, jika selama ini dirinya hanya menganggap Arka teman, dan tidak lebih.

“Maaf, Arka. Gue gak bi--” Perkataan Nayla terhenti, kala Arka menariknya, sehingga menubruk dada bidang cowok itu.

“J-jangan Nay, tolong jangan katakan itu. Gue belum siap dengar penolakan lo, Nay. Gue belum siap itu,” ucap Arka dengan suara seraknya, Nayla tidak membalas ataupun menolak pelukan Arka, ia masih terlalu kaget dengan ini semua.

“Setelah ini, gue harap lo, gak ngejauhin gue, Nay,” ucap Arka serak, tanpa Nayla tau, Arka menangis di belakangnya, Arka tau pasti akan seperti ini. Tapi, dirinya tidak punya pilihan lain selain mengatakannya.

Bagi Arka, nanti atau sekarang, jawabannya akan tetap sama. Tapi, bukan berarti ia menyerah begitu saja, langkahnya sudah terlalu jauh, mundur pun percuma rasanya. Jadi pilihan Arka, adalah menghadapinya walaupun ia tau kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah ini.

Perlahan Arka melepaskan pelukannya, Arka menatap Nayla dalam, “Gue gak akan maksa lo, Nay. Lo berhak buat nolak gue, tapi gue mohon, jangan jauhin gue.”

Nayla tidak mau menatap Arka sama sekali, perempuan itu memilih untuk menatap ke arah lain. Rasanya sakit sekali, melihat tatapan Arka yang seperti itu. Nayla tidak tega melihat tatapan kecewa Arka padanya. Tetapi, ia juga tidak bisa menerima Arka begitu saja.

“Gue mau pulang, Arka.” Setelah mengatakan itu, Nayla keluar dari bianglala yang sudah berhenti, di susul oleh Arka di belakangnya.

Dalam perjalanan pulang hanya ada keheningan yang menyapa mereka berdua. Arka tau, jika perempuan itu marah padanya, bahkan bisa dikatakan kecewa padanya. Tetapi, Arka juga tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi. Meskipun Arka tau, jika Nayla akan menolaknya.

Sandyakala Amerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang