SANDYAKALA AMERTA : 08. FEELING 2

50 13 1
                                    

***

Nayla berdiri di balkon kamarnya, menatap kosong ke depan. Cuaca malam ini sangat dingin, mungkin akan hujan. Bintang-bintang tidak terlihat satupun. Sehingga langit gelap, malam ini sangat bersih. Angin berhembus pelan, menerbangkan rambutnya yang ia gerai. Ia merapatkan cardigannya yang tertiup angin.

Sesekali, ia menggosok tangan sambil meniupnya, lalu mengusapkan pada kedua lengannya. Setelah cukup lama di posisi itu, ia pun melangkah masuk, lalu menutup pintu kamar yang menghubungkannya ke balkon. Nayla, melangkah menuju kasur dan membaringkan dirinya. Matanya menatap langit-langit kamar.

Entah mengapa, dari tadi siang terselip rasa cemas di perasaanya. Seperti akan terjadi sesuatu, tetapi ia tidak tau apa. Nayla mengambil coklat yang pernah Arka berikan padanya, ia menatapnya lamat-lamat. Seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Ingatannya terlempar jauh pada saat Arka memberinya pertanyaan saat di taman. Setelahnya cowok itu menghilang, lalu tiba-tiba datang, dengan pertanyaan konyolnya.

Sebenarnya Arka itu siapa? Dan dia kenapa? Ada saat dimana Arka akan menjadi sangat serius, seperti di taman dan koridor tempo lalu. Tetapi, ada saat dimana cowok itu juga, menjadi konyol di saat bersamaan. Seperti saat di taman sekolah tadi siang. Rasanya terlalu abu-abu. Mungkin Nayla, belum mengerti sifat Arka sepenuhnya, yang terkadang membuatnya sedikit bingung, saat menghadapinya.

Nayla menggelengkan kepalanya, mungkin itu hanya perasaanya saja. Karena ia belum mengerti Arka. Toh, mereka baru dekat saat masuk SMA, sebelumnya mereka hanya pernah bertemu sekali saat mereka duduk di bangku SMP, itupun kebetulan saat mereka pergi ke taman tahun lalu. Kemudian Nayla meletakkan, kembali coklat di tangannya ke atas nakas. Lalu menarik selimut, dan mematikan lampu tidurnya.

***

Berbeda dengan Nayla, Arka justru tidak bisa tidur sama sekali. Matanya menatap langit-langit kamar. Banyak pertanyaan yang selalu berputar di kepalanya. Siapa lagi penyebabnya, kalau bukan Nayla. Arka menghembuskan nafasnya pelan. Perasaan ini, menyiksanya.

Terkadang Arka berfikir, apakah selama ini Nayla masih belum mengerti petunjuk yang ia berikan pada perempuan itu? Atau memang Nayla yang sengaja tidak ambil tau. Arka menjambak rambutnya kasar, Sial! Kenapa dia jadi seperti ini.

“Apa selama ini, lo gak ngerti maksud gue, Nay?”

Arka menatap ponselnya yang menampilkan foto Nayla. Sekuat apapun ia mencoba untuk menjauhi Nayla, pada akhirnya ia akan tetap kembali pada perempuan itu. Bukan sekali, dua kali ia mencoba, tetapi sudah berkali-kali.

Arka sengaja menghilang selama seminggu ini, untuk menenangkan pikirannya. Namun, saat melihat Nayla tadi siang rasa itu kembali datang, yang siap membunuhnya kapan saja. Apa yang harus ia lakukan? Saat Arka mengatakan jika ia merindukan perempuan itu, itu benar adanya, meskipun ia terkesan bercanda, namun ia berusaha untuk jujur akan perasaannya pada Nayla.

Arka mengusap wajahnya kasar. Haruskah ia terlihat konyol di hadapan Nayla? Agar ia bisa jujur pada perasaannya? Atau ia harus menjadi dirinya sendiri, agar membuat Nayla mengerti? Semuanya terlalu abu-abu, untuk ia pahami.

***

“Nay, lo jadi ke kantin gak?” tanya Adel menghampiri Nayla, yang masih asik dengan ponselnya, perempuan itu hanya bergumam menanggapi ucapan Adel barusan.

“Nay, Ayo! Nanti kantinnya penuh.” Adel menarik tangan Nayla, sehingga perempuan itu berdiri, setelahnya ia pun memasukkan ponselnya dan mengikuti Adel dari belakang.

Sandyakala Amerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang