EPILOG

152 5 0
                                    

***

Tiga tahun kemudian ....

Seorang perempuan sedang berkutat dengan laptop ditemani dengan secangkir kopi hangat. Jari-jari tangannya, menari-nari di atas keyboard dengan lincah. Mengetik kata setiap kata hingga menjadi sebuah kalimat.

“Selesai.” Perempuan itu bersorak. Akhirnya setelah dua jam berkutat dengan laptop, ia berhasil menyelesaikan bab terakhir untuk naskah novel yang akan ia kirim ke penerbit. Perempuan itu menutup laptopnya. Setelah itu, ia meregangkan otot-otot tangan sebentar. Perempuan itu terdiam cukup lama, menatap sebuah buku yang berjudul Sandyakala Amerta novel pertama yang ia terbitkan beberapa waktu lalu.

Tangannya terulur untuk mengambil novel itu. Cukup lama ia memandangnya, tiga tahun berlalu tetapi semuanya masih sama. Buku ini, adalah buku yang ia tulis sendiri dari pengalaman hidupnya. Tentang Nayla, Arka dan arti kepercayaan. Perlahan, Nayla membuka lembar tiap lembar buku itu. Membacanya dengan seksama. Lembar tiap lembar ia baca, hingga tanpa sadar satu cairan bening meluncur bebas di pipinya. Bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang? Apakah ia bahagia? Apakah laki-laki itu pernah merindukannya? Walau hanya sedetik saja.

Ah tidak terasa tiga tahun berlalu, tetapi keadaannya tidak berubah banyak, perasaannya masih sama. Selama tiga tahun terakhir, hari-harinya hanya di habiskan untuk sekolah, menulis dan membantu ibunya. Tidak ada yang istimewa. Meskipun banyak yang mendekatinya, tetapi Nayla tidak peduli itu. Sebanyak apapun mereka mencoba, nyatanya perasaannya telah terkunci, dengan seseorang yang jauh di sana. Tanpa sengaja perempuan itu melihat stiker note yang terselip di buku diarynya, tangannya terulur untuk mengambil itu.

Satu senyum kecil tersungging di bibirnya, surat yang ia temukan di lokernya beberapa tahun lalu, Nayla masih menyimpannya dengan baik. Lalu, tangannya terulur untuk mengambil sebuah polaroid yang juga terselip di sana. Foto dirinya bersama Arka saat di rooftop beberapa tahun lalu. Tanpa sadar Nayla menangis perlahan cairan bening itu berubah menjadi isakan, dirinya sangat merindukan laki-laki ini, ia sangat merindukan Arka, bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang. Nayla harap, Arka baik-baik saja. Setelah cukup lama, Nayla memilih untuk beristirahat, mungkin tidur lebih baik. Kemudian, ia menarik selimut dan mematikan lampunya.

***

Hari-hari berlalu, detik berganti menit, menit berganti jam dan jam berganti hari. Berminggu, berbulan, bahkan bertahun beralalu, tetapi itu sama sekali tidak dapat menyembuhkan luka Arka. Laki-laki itu terlihat lebih kurus sekarang, rambut yang sedikit panjang dan juga lingkaran hitam di bawah matanya. Kepergian Nayla benar-benar memberi dampak yang besar untuk Arka. Meskipun laki-laki itu tetap menjalani kehidupannya dengan baik seperti semula, tetapi jauh di dalam dirinya laki-laki itu hancur. Seringkali Wildan memergoki laki-laki itu, menatap kosong ke depan, dimana ada sebuah foto Nayla yang terpampang di sana. Terkadang, Wildan memergoki Arka yang menangis diam-diam dengan foto Nayla di tangannya, hal itu membuat hati Wildan sakit.

Tetapi meskipun begitu, mereka semua memahami keadaan Arka. Bahkan, Gayatri sama sekali tidak memaksa Arka, maksudnya Gayatri hanya membiarkan saja Arka menunggu Nayla, dirinya tidak akan menganggu hal itu, karena ia tau Arka sangat mencintai perempuan itu. Gayatri hanya berharap, suatu saat Arka dan Nayla di pertemukan kembali. Dirinya sudah mendengar semua hal yang terjadi pada Arka melalui, Adel, Wildan dan Alia. Sebenarnya ia bisa saja menanyakan hal itu pada Arka, tetapi dirinya tidak ingin membuat Arka semakin sedih. Selama sebulan dirinya pergi, banyak hal yang terjadi pada Cucunya. Gayatri tidak menyangka jika perjalanan kisah cinta Cucunya akan menjadi sangat rumit hanya karena dendam seseorang di masalalu mereka.

Sandyakala Amerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang