SANDYAKALA AMERTA : 19. MAKIN MENGGILA

40 3 0
                                    

***

Sepanjang perjalanan Nayla merutuki Arka, bagaimana tidak? Laki-laki itu mengatakannya seolah tidak terjadi apa-apa. Ingin sekali Nayla mencakar wajah menyebalkan Arka, tetapi Nayla terlalu sayang dengan wajah tampan cowok itu. Syukurnya, wajahnya itu bisa menolongnya dari amukan Nayla.

Sudah Nayla katakan, Arka itu bisa membuat darah Nayla mendidih seketika. Terkadang Nayla berfikir, kenapa Tuhan mempertemukannya dengan makhluk berspesies seperti Arka. Apakah ini anugrah atau kutukan bagi Nayla. Apapun itu, Nayla tidak perduli, ia hanya ingin pulang dan mengistirahatkan diri.

“Nay,” panggil Arka, melihat Nayla dari kaca spionnya. Perempuan itu sedari tadi hanya diam, sambil sesekali menekuk wajahnya, Arka tau, perempuan itu pasti sedang kesal padanya.

“Nayla, anaknya mama Maria,” panggil Arka kalem, spontan Nayla menggetuk helm Arka, namun tentu saja hal itu tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi Arka, justru sebaliknya.

“Apasih Arka?” tanya Nayla akhirnya, dengan wajah kesalnya. Perempuan itu mengusap tangannya, dan sesekali meniupnya, sementara Arka ingin sekali tertawa melihat Nayla yang seperti itu.

“Lo gak cocok pasang muka cemberut, Nay. Jelek.” Nah, kan. Arka itu memang menyebalkan, kita garis bawahi, menyebalkan. Jika saja Nayla sedang tidak di atas motor Arka, mungkin ia akan dengan senang hati, menggeplak kepala Arka, namun Nayla tidak melakukan itu, karena bisa saja membahayakan mereka.

“Arka, lo itu nyebelin ya?” cetus Nayla, jangan lupakan wajah kesalnya. Entah mengapa, Arka sangat menyukai ekspresi Nayla yang seperti itu. Sepertinya, dirinya memiliki hobi baru, yaitu membuat Nayla kesal.

“Emang,” jawab Arka kalem. Tuhan, kuatkan hati Nayla, untuk menghadapi makhluk berspesies seperti Arka. Berkali-kali Nayla menghembuskan nafas, agar membuatnya tenang. Berbicara dengan Arka harus dengan kesabaran yang ekstra. Sabar Nayla, orang sabar di sayang Allah, batin Nayla.

“Arka, lo mau bawa gue kemana?” tanya Nayla, saat menyadari jika ini, bukan jalan menuju rumahnya, jalanan ini sangat sepi, di penuhi dengan pohon-pohon rindang. Sementara Arka masih diam, tanpa mau mengatakan sepatah katapun.

“Arka,” panggil Nayla namun Arka masih diam, seakan tidak mendengar panggilannya, kemudian Arka menaikkan kecepatannya, sehingga mau tidak mau Nayla memeluk cowok itu.

“Gue mau bawa lo ke suatu tempat, yang cuman ada kita berdua,” ucap Arka, entah mengapa itu terdengar menyeramkan bagi Nayla, perasaan takut mulai menghampirinya.

“Arka, lo jangan macem-macem ya,” ancam Nayla was-was, rasa takut telah menguasai dirinya hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Bahkan tanpa sadar, Nayla mencengkram kuat, jaket Arka. Perempuan itu memejamkan matanya kuat-kuat.

“Turun,” perintah Arka, namun Nayla masih diam, bahkan cengkramannya semakin kuat. Arka menggeleng melihat Nayla.

“Gue gak akan ngapa-ngapain, lo, Nay.”

Arka mencoba melepaskan tangan Nayla dari jaketnya, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mau melepaskannya. Tak kehabisan akal, akhirnya Arka memegang lembut tangan Nayla. “Nayla, kita udah sampai. Sekarang lo bisa buka mata lo.”

Namun, Nayla masih di posisi yang sama, kerutan di dahinya semakin terlihat jelas. Arka pun mengusapnya pelan, “Pikiran lo terlalu jauh, Nayla. Sekarang buka mata lo.”

Sandyakala Amerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang