SANDYAKALA AMERTA : 03. COKLAT ATAU ARKA

98 14 1
                                    

“Sebuah rumah sebesar istana pun, akan terasa sia-sia, jika tanpa ada kehangatan di dalamnya.”

***

“Nay ....” Arka mencoba membangunkan Nayla, namun tangan Nayla, jatuh di sampingnya. Ekspresi Arka berubah saat menyadari kalau, Nayla pingsan. Ini, bukan tidur. Kemudian ia meletakkan nampan makanan di atas meja di sampingnya. Dengan sigap Arka menggendong Nayla untuk membawanya ke UKS.

Sepanjang koridor, tatapan penuh pertanyaan dari orang-orang tidak ia pedulikan. Sekarang bagaimana caranya, agar ia cepat sampai ke UKS untuk memeriksa Nayla. Dapat Arka rasakan, suhu tubuh Nayla hangat, berbanding terbalik dengan tangannya yang dingin.

Saat tiba di depan pintu UKS, Arka sedikit kesusahan membukanya, karena ia sedang menggendong Nayla. Tangannya memutar kenop pintu, saat sudah berhasil terbuka Arka masuk dengan menggunakan kakinya, agar pintunya terbuka lebar. Ia kemudian, membaringkan Nayla di brankar. Seseorang datang dari belakang, sepertinya anggota PMR.

“Dia kenapa?” tanyanya, melangkah mendekati brankar Nayla dan memeriksanya. Diam sesaat sebelum Arka menjawab.

“Pingsan.” Arka menjawab dengan singkat, ia mengambil kursi yang ada di sampingnya, dan duduk di samping Nayla.

“Dia sakit, kayanya dia kecapeaan. Biarkan dia istirahat dulu. Sebentar lagi, dia siuman.” Setelah mengatakan itu, seseorang itupun keluar meninggalkan Arka dan Nayla yang masih tidak sadarkan diri.

Beberapa menit berlalu, tetapi Nayla belum siuman. Memutar otak, Arka pun bangkit mencari kotak P3K setelah menemukannya, Arka kembali di samping Nayla. Ia segera membuka, dan mencari minyak angin guna untuk menyadarkan Nayla. Menuangkannya sedikit ke jari, kemudian mendekatkan ke hidung Nayla, terus seperti itu hingga beberapa kali.

Perlahan Nayla, membuka matanya dan menyesuaikan dengan cahaya. Pandangannya masih kabur, dan sakit di kepalanya masih belum hilang. Setelah berhasil menyesuaikan penglihatannya, Nayla sadar sekarang ia berada di UKS. Tetapi, yang menjadi pertanyaannya adalah siapa yang membawanya kesini. Seingatnya, tadi Adel izin untuk pergi ke kantin dan dia sendirian, tak lama setelah Adel pergi. Kepalanya semakin sakit, dan pandangannya berkunang-kunang, hingga menjadi gelap, setelahnya ia tidak tau apa yang terjadi.

“Lo udah sadar?” Pertanyaan itu, membuat Nayla mengerutkan keningnya. Suara itu ... Suara itu sangat familiar tetapi bukan suara Adel, melainkan suara berat seseorang. Nayla menoleh ke samping ke arah sumber suara di sana ada Arka yang menatapnya, dengan tatapan yang sulit ia artikan.

“Gue dimana?” tanya Nayla, berusaha untuk bangun, di bantu oleh Arka. “Pelan-pelan, lo masih sakit, Nay.” Arka meletakkan bantal di belakang Nayla, agar posisinya setengah duduk.

“Makasih, udah bantu gue,” ucap Nayla tulus, dan di jawab dengan gumaman Arka, tak lama dari arah pintu UKS, seseorang yang tadi memeriksa Nayla datang, dan meletakkan makanan juga minuman hangat untuk Nayla.

“Di makan ya, gue tinggal dulu.” Setelahnya ia keluar, meninggalkan Arka dan Nayla. Setelah beberapa saat, Arka mengambil bubur yang ada di sampingnya, kemudian menyerahkannya pada Nayla.

“Makan, Nay. Gue tau lo belum makan.” Nayla menatap bubur di tangan Arka tanpa minat, ia menggeleng, kemudian menolak makanan yang ada di hadapannya, “Gue gak mau makan,” jawabnya pelan.

Sandyakala Amerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang