SANDYAKALA AMERTA : 12. PELANGI MIMPI

36 9 1
                                    

***

Arka berdiri di balkon kamarnya sesekali tangannya mengetuk pagar besi. Ingatannya menerawang jauh pada saat Nayla mengatakan bahwa ada satu hal yang tidak ia sukai dari hujan. Entah mengapa, Arka serasa di tampar oleh kata-kata Nayla, meskipun perempuan itu mengatakan biasa saja.

“Gue gak suka dengan cara hujan, dia bisa datang dan pergi sesuka hati, tanpa memikirkan orang lain.”

“Meskipun, kebanyakan hujan memberi tanda kapan dirinya akan turun, tapi hujan gak pernah memberi tanda kapan dirinya akan berhenti. Sehingga kebanyakan orang, akan merasa kehilangan karena belum mempersiapkan, kehilangan itu sendiri.”

Kalimat yang selalu berputar di otak Arka. Layaknya kaset rusak. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu semua, tetapi Arka rasa itu adalah ungkapan perasaan Nayla selama ini. Perempuan itu tidak menyukai cara hujan yang datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba, sama seperti manusia yang bisa tiba-tiba hadir, lalu menghilang begitu saja, tanpa memikirkan perasaan orang-orang yang ditinggalkan.

Semua yang Nayla katakan benar, tidak ada satu pun orang yang siap ditinggalkan begitu saja, tanpa memberi tanda. Bahkan terkadang walaupun sudah diberi tanda, akan tetapi ia sendiri tidak menyadari tanda itu, hingga saat ia sudah menghilang barulah menyadarinya. Tetapi, apapun itu yang namanya di tinggal secara tiba-tiba bukanlah perkara yang baik.

Arka melangkah masuk, meninggalkan balkon. Dari pintu kamarnya, terdengar suara Alia yang, memanggil dirinya. Dengan cepat Arka menghampirinya, lalu membuka pintu agar Alia bisa masuk. Setelah pintu di buka, Alia melongos masuk dan duduk di kasurnya. Tanpa memperdulikan tatapan tajam Arka.

“Bang Arka. Kapan-kapan kenalin Alia ke dia ya?” tanya Alia masih asik memperhatikan kasur Arka tanpa memperdulikan ekspresi Arka.

“Ngapain kenalin ke lo, yang ada dia ilfeel,” tandas Arka, melangkah menuju meja belajarnya dan duduk di sana. Alia memajukan bibirnya manyun.

“Oke, kalau gak mau ngenalin gapapa. Biar Alia cari tau sendiri.” Setelah mengatakan itu, Alia melongos pergi meninggalkan Arka yang masih menatap Adiknya tidak percaya. Tetapi, ia yakin Alia tidak akan berbuat seperti itu.

Setelah kepergian Alia, Arka terdiam di tempatnya menimbang-nimbang, apa langkah selanjutnya yang harus ia lakukan. Tidak mungkin ia berhenti di tengah jalan, karena terlanjur jatuh, lebih baik ia jatuh sekalian. Sebenarnya Arka masih menyimpan pertanyaan yang mungkin hanya Nayla yang bisa menjawabnya, tetapi Arka mengurungkan niatnya. Arka hanya tidak ingin Nayla marah, karena terlalu mencampuri privasinya.

***

Sedangkan di tempat lain, Nayla sedang kebingungan, sedari tadi yang ia lakukan hanyalah mondar-mandir. Bukan tanpa sebab, itu semua karena permintaan ibunya. Bagaimana cara Nayla mengatakannya pada Arka? Jika Ibunya ingin bertemu Arka dengan niat baik tidak apa? Tetapi, bagaimana kalau ibunya ingin menemui Arka karena ibunya meminta Arka untuk tidak menemui dirinya lagi?

Sejujurnya, Nayla cemas dengan hal itu. Arka orang yang baik, dan Nayla tidak ingin kehilangan itu. Tetapi, jika ibunya tidak mengizinkannya, tidak ada pilihan bagi Nayla selain menjauhi Arka, meskipun itu sedikit sulit. Bukan tanpa sebab, sejauh ini Arka sudah banyak membantunya, dan sudah menjadi teman yang baik bagi Nayla, walau seringkali ia memarahi Arka. Namun, Arka mengerti itu.

“Gue harus gimana? Gue gak mungkin bisa milih antara Arka sama mama,” lirih Nayla, sedari tadi Nayla ingin menghubungi Arka, namun setelah selesai mengetik perempuan itu malah menghapusnya kembali, selalu seperti itu.

Sandyakala Amerta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang