0. Prolog

2.2K 150 0
                                    

UNTIL I DIE

Aku menarik tangannya penuh semangat. Wajahnya yang manis tersenyum, lalu langkahnya mengikutiku.

"Lihat di sebelah sana! Kita belum mencobanya!"

"Ya, tenanglah. Kita masih bisa melakukannya sampai sore nanti."

"Apa?! Sampai malam! Kubilang harus sampai malam!"

"Ahahaha, baiklah kamu sudah sangat menantikan hari ini ya!"

Ya, aku memang menantikannya. Sudah dari satu bulan yang lalu aku melihat beritanya, taman bermain yang baru akan dibuka untuk umum pada hari ini. Aku langsung memperlihatkan berita ini padanya. Dia memang tampak sibuk karena beberapa hal belakangan ini, tapi demi aku yang terus mengajaknya akhirnya dia menyetujui untuk pergi bersama.

Aku menaiki sebuah bianglala sambil memegangi tangannya.

"Apa setelah ini mau makan es krim?"cuaca panas membuatku khawatir dengan keadaannya.

"Ya! Es krim soda."wajahnya yang hangat dan senyumannya memberiku kepercayaan akan suasana hatinya saat ini. Dia senang.

Aku tidak bisa melepaskan perhatianku darinya. Wajahnya, pakaiannya, cara dia berjalan dan segala macam suara yang dia keluarkan untuk meluapkan emosinya. Yang jelas, aku hanya memilikinya.

Dia yang selalu menemaniku, seorang anak yang bahkan tidak memiliki keluarga, teman bahkan kebanggaan. Dia yang menarikku keluar dari semua masa gelap yang telah aku alami. Dia yang membawaku kepada keluarganya yang hangat, memperkenalkanku dengan banyak hal yang belum aku ketahui.

Dia menanggung semuanya. Kebencian dan pandangan buruk orang lain terhadapku, latar belakangku, sampai kelemahanku. Dia menanggung semua itu namun selalu berusaha meyakinkanku bahwa dia sangat bahagia bisa bertemu denganku.

'Tidak'

Akulah yang seharusnya berkata seperti itu. Aku yang seharusnya meyakinkanmu untuk tidak meninggalkanku. Aku yang paling membutuhkanmu.

"Hei, terimakasih untuk hari ini."

"Ya, lagipula kita sudah lama tidak pergi ke taman bermain seperti ini. Aku juga harus berterimakasih padamu karena sudah memaksaku."

"Pasti disana kedai es krimnya." aku mencondongkan kepalaku lalu menunjuk kumpulan kedai di arah jam lima.

"Ada banyak kedai lainnya, kita harus memilih dengan baik."

"Benar, uangku tidak akan cukup untuk mencicipi semuanya."

Kami tertawa. Melanjutkan pembicaraan konyol sambil menunjuk-nunjuk objek menarik.

BRAK!!!

Sebuah dentuman terdengar dari luar bianglala. Aku terdiam lalu menatap orang di depanku, dia juga terkejut.

Aku menoleh ke luar jendela bianglala, mencari sumber suara.

"A—apa"

Kepulan asap pekat di seberang bianglala. Tangan kami saling menggenggam, berusaha menenangkan satu sama lain.

"Tenang, bianglala ini masih berputar. Begitu kita sampai cukup dekat dengan tanah, bersiap untuk melompat."wajahnya penuh ketegasan, walau aku dan dia sendiri tau kami sama-sama gemetaran.

DUAR!!!

Bunyi dentuman semakin keras, bahkan terdengar beberapa kali dentuman kecil setelahnya. Bianglala terguncang, aku semakin erat menggenggam tangannya.

"Tidak apa-apa," suaranya berusaha terdengar tenang.

BRAK!

Bianglala kembali terguncang kali ini sangat kencang. Tubuh kami melayang dan keseimbangan kami menghilang. Kepalanya terbentur bagian belakang kursi bianglala, lalu matanya mulai sayu dan terpejam.

"Hei! Bangun! Kita harus keluar dari sini!" hening, tidak ada jawaban dari mulutnya yang tertutup. Aku menjadi lebih panik, tanganku gemetaran hebat dan keringat semakin deras mengalir dari segala sisi tubuhku. Aku menoleh-noleh ke bawah menunggu dengan tidak sabar waktu sampai ke bawah sana. Aku menggebrak jendela ketakutan.

Benar, aku harus melakukan semuanya sekarang, menyelamatkannya adalah satu-satunya prioritasku sekarang. Semua sudah direncanakan olehnya tadi, aku hanya tinggal menjalankannya. Ya, tidak ada yang sulit, tenanglah!

Begitu sampai di dekat pijakan, aku membuka kunci dan menendang pintu. Tangannya sudah kulingkarkan di leherku, lalu dengan sekuat tenaga aku melompat dari sana.

Bukannya merasa senang karena berhasil keluar dari sana, aku kembali merasakan ketakutan. Di luar bianglala, penuh dengan api. Semuanya berantakan, semua orang berlalri tak tentu arah. Teriakan terdengar memekakkan telinga. Kepanikan dimana-mana.

Aku menyeret kakiku dan orang di pundakku sekuat mungkin. Nafasku sudah terengah-engah, tangan dan wajahku tergores pintu bianglala tadi.

"To..tolong.." tidak ada yang mendengar. Semua juga sedang kesulitan.

Kakiku kupaksakan tetap berjalan diantara kerumunan orang. Berkali-kali tubuhku bertubrukan dengan orang sampai aku hampir kehilangan pijakan.

"Ah..." kakiku terbelit dan semua pertahanan yang aku keluarkan langsung hancur. aku menjatuhkannya dari pundakku.

"HEI! SIALAN!"tubuhku berusaha melawan arus, tanganku menjulur mencoba kembali meraih tangannya. "SIAL! MINGGIR! DIA DISANA!"tenggorokanku sakit, tapi baik tubuh atau orang-orang disekitarku tidak mendengarkan. Tidak ada yang bekerja sesuai keinginanku.

Tubuhku benar-benar kehabisan tenaganya, hanya bergerak sesuai dengan tubrukan orang disekitarku. Lalu aku terjatuh, terinjak-injak. Sakit. Aku lebih merasakan sakit saat melihat dia ada di poisisi yang sama denganku. Pemandangan yang mengerikan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menangis memanggil namanya.

Apa sudah malam?

Rasanya semuanya sakit...

Suara riuh memenuhi telingaku. Aku mencoba bernafas dengan pelan, karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Semua tubuhku mati rasa. Aku tidak merasakan sakit atau perih. Beberapa orang berlarian panik dengan pakaian putih.

Dokter? Apa ini rumah sakit?

Aku mengintip sekelilingku, banyak orang terluka dan salah satunya orang disebelahku, orang yang sangat aku kenal.

"..."suaraku tidak keluar. Dia terlihat sangat pucat, yang membuatku sangat panik adalah dia sama sekali tidak bernafas.

Aku ingin berteriak sekeras mungkin, tapi yang keluar hanyalah erangan menyedihkan yang tidak berguna.

Seorang perempuan berpakaian dokter mendekatinya dan dengan bantuan beberapa rekannya mencoba memeriksa keadaanya. Ia menghembuskan nafas lalu menutupkan kain sampai wajahnya. "Dia sudah tewas."

A..APA...

Aku tidak memiliki tenaga, semuanya seakan hilang. Suara dari ruangan ini seketika menghilang, tanganku tidak merasakan sentuhan apapun yang dibuatnya. Lalu perlahan penglihatanku juga menghilang. Bersamaan dengan harapan hidup dan jiwaku semuanya redup, gelap gulita.

Jiwaku perlahan menghilang.

Until I DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang