27. Anjing Besar Helmia (5)

295 49 0
                                    


Seolah seorang kesatria pemberani, aku memasuki hutan sendirian. Aku tidak meminta kuda putihku berlari cepat, cukup berjalan sambil mengikuti jejak yang ditinggalkan anjing itu.

Tindakanku yang pergi ke hutan dalan sendirian seperti ini sebenarnya adalah upaya menantang maut. Dengan masuknya aku ke dalam mengikuti jejak kakinya, sangat mungkin di ujung jalan ini adalah sarang para Anjing Besar Helmia yang jumlahnya tidak kuketahui. Karena tidak tertulis di Buku Joseph.

Hanya suara angin, daun yang bersentuhan, dan langkah kaki kuda yang terdengar sampai sejauh ini. Setidaknya aku butuh suara desahan nafas salah satu anjing itu untuk menghilangkan ketegangan ini.

Shhhh...

Sial, suara itu benar-benar terdengar. Kira-kira jaraknya tidak sampai seratus meter dari tempatku berada, melihat dari besar tubuh anjing itu.

Aku mencoba mendengar lebih jelas menuju sumber suara. Suara itu hilang.

Aku tidak ingin menyia-nyiakan suara tadi, dengan terdengarnya suara desahan di telingaku, itu berarti anjing itu tadi ada di sekitar sini. Itu dia, ada bekas daun-daun kering yang berterbangan secara tidak beraturan. Aku mengikuti jalan itu.

Aku sedikit mempercepat langkah kaki kuda, anjing itu sepertinya sadar aku sedang mengikutinya.

Srak srak srak.

Sebuah gua terlihat di ujung jalan. Aku menghentikan kuda, lalu memeriksa sekitar. Sepertinya anjing-anjing itu ada di dalam.

Ekornya! Aku melihat ekornya masuk ke dalam gua.

Aku turun dari atas kuda, "tunggu aku." Aku kemudian menarik pedangku.

Sambil terus waspada, aku memasuki gua.

Gua itu gelap, beberapa makhluk malam menggantung di langit-langitnya. Tumbuhan liar muncul dari pojok-pojok batu dan sarang laba-laba terlihat di beberapa sisi dinding gua. Semakin aku berjalan, diameter gua semakin besar.

Aku terus berjalan, sampai akhirnya sebuah mata air terlihat. Mata air itu cukup jernih, cukup dalam, setidaknya setinggi bahuku jika aku masuk ke dalamnya. Aku mencelupkan jari telunjuk ke dalamnya, dingin. Telapak tangaku membentuk mangkuk lalu mulai membasuk tangan dari pergelangan tangan kemudian naik sampai siku. Air ini sungguh menyegarkan.

Dalam hitungan detik, aku berhenti mengagumi mata air ini. Aku merasakan sesuatu, dia datang mendekat.

Semakin dekat, aku bisa mendengar suara desahan nafasnya. Lalu dari kegelapan, mata merahnya bersinar dan moncong berliurnya muncul. Dia menatapku dan mulai menggeram.

Aku mengarahkan pedangku ke hadapan anjing itu. setiap langkah kaki yang membuatnya menjadi lebih dekat denganku, aku akan mmundur perlahan. Anjing besar di depanku ini terus menggeram. Sepertinya dia akan terus mendesakku, jadi aku memberanikan diri untuk mulai maju. Anjing itu tiba-tiba berhenti.

Eh?

Aku seperti mendengar sesuatu. Tapi bahkan hanya ada anjing ini bersamaku.

Siapa?

Aku mendengarnya lagi. Kata-kata itu langsung masuk ke dalam kepalaku. Aku merasakan sesuatu sedang memperhatikanku. Aku mengangkat kepala, memperhatikan balik makhluk itu. tidak salah lagi, anjing ini lah yang sedang berbicara denganku, entah bagaimana caranya.

"Apa yang mau kau sampaikan?"

Jawaban anjing itu langsung masuk ke dalam kepalaku. Dia bertanya siapa aku.

"Aku Apridete Courdesse."

Dia paham, sepertinya anjing ini sangat mengenal keluarga Courdesse.

"Kau paham maksudku? Bagaimana bisa?"

Until I DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang