Matahari baru saja naik, masih banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan. Laporan-laporan itu menumpuk di atas meja kerjaku. Aku bahkan mengurangi waktu belajarku dengan Lady Gloria sebanyak tiga jam. Lady Gloria mengizinkannya setelah melihat laporan menumpuk itu.
Mai yang memegang bedak di tangannya memutar wajahku, "Anda harus berias, Nona."
Sudah seminggu, kata Mai, aku terlihat lesu. Tentu saja bukan lesu, kantung mata tumbuh di kedua mataku, tapi tidak setebal yang biasa kulihat pada penjaga perpustakaan. 3 hari aku tidak tidur dan Mai selalu memaksaku untuk tidur walau hanya beberapa jam. Kalau aku tidur, apa pekerjaanku akan selesai dengan sendirinya? Konyol. Tapi karena paksaannya yang hampir 5 kali dalam sehari itulah akhirnya aku tidur pada hari ke-4 selama 10 jam.
Untuk tubuh Apridete yang masih di usia ini, muda sepertinya, aku rasa menjaga tidurku memang merupakan hal yang penting. Tapi, pekerjaanku juga tidak kalah penting.
Mai selesai merias wajahku, dia menunjukkan wajahku di depan cermin. Cantik, mata merahnya masih bersinar, rambut silvernya tergerai dengan anggun, kulit pucatnya terlihat lembut.
"Saya bantu berpakaian."
Gaun berwarna merah hari ini dipilih karena aku akan bertemu dengan kaisar. Kemarin, aku mendapat undangan dari kaisar untuk menemaninya minum teh di taman bunga mawar. Terdengar romantis, sayangnya yang mengudangku tidak lain adalah kaisar.
"Sudah selesai, Nona."
Aku menatap diriku seluruhnya di depan cermin. Ternyata gaun ini sangat cocok dengan fisik Apridete. Terlihat sangat cantik. Kilauan pada sisi gaun yang dihiasi permata menambah kilauan pada diri Apridete.
"Aku pergi dulu, Mai."
.
.
Taman bunga mawar berada di sisi timur istana. Jujur, aku jarang pergi ke tempat ini. Taman ini sangat indah, namun tidak terlihat menarik di mataku. Entah sejak kapan aku selalu menatap sesuatu seperti hal yang wajar. Mungkin ini terjadi sejak dulu, tapi aku tidak ingat pasti kenapa.
Duduk di bawah kubah putih di tengah hamparan mawar dengan tenang. Rambut kuning emasnya mengayun dihembus angin, wajah rupawannya seketika terlihat begitu jelas. Dia mengenakan baju resmi, namun tanpa riasan sedikipun. Walau begitu, aku bisa katakan bahwa wajahnya itu adalah riasan secara keseluruhan.
"Matahari sebagai penghangat, bulan sebagai penenang, dan bintang sebagai keindahan, salam kepada cahaya kekaisaran Yang Mulia kaisar Allieru,"aku membungkuk dan mengucapkan salamku.
"Selamat datang, Putri Apridete."
Itu pertama kalinya aku mendengar kaisar menyebut namaku. Terdengar tegas, namun di satu sisi terasa lembut.
Aku duduk tepat di kursi di depan kaisar. Seorang pelayan meletakkan dua cangkir teh, dan dua tray kue bertingkat di atas meja. Tray kue itu sangat cantik, ukirannya detail di seluruh sisi. Aku mengambil sepotong cupcake stroberi. Piring kaisar masih tampak kosong, inisiatifku menggerakkan tangan kananku untuk mengambil kue yang sama untuk kaisar.
"Saya harap kaisar tidak keberatan."
Sebelum kaisar mengangkat cangkir tehnya, dia berkata kepadaku, "aku ayahmu, panggil saja jika hanya ada kita di sini."
Sebaiknya aku menurut, "baik, ayah."
Kaisar memulai pembicaraan, "kau melakukan tugas dengan baik, wilayah kekaisaran sebelah timur menyambut hasil kerjamu dalam mengatasi masalah penipuan di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Until I Die
FantasySepasang tangan mungil terlihat di depan mataku saat aku terbangun. Ketika aku menatap cermin, wajahnya yang cantik terlihat menawan. Apridete Courdesse, aku masuk ke dalam tubuhnya, seorang putri kekaisaran yang menjadi pemeran sampingan dari sebua...