Mai mendapatiku yang sedang memunggungi dinding di lantai bawah istana. Aku yang melipat tanganku di depan dada terpanggil oleh langkah kakinya.
Mai menghampiriku dengan segelas air di atas nampan yang dibawanya, "setidaknya Nona harus minum."
Aku mengambil gelas itu, "ya," meminumnya sedikit meredakan keteganganku.
Aku kembali menatap langit subuh yang masih gelap, matahari belum juga menampakkan sosoknya yang bersinar. Ini sudah waktunya. Setelah saat malam hari kaisar dan para ksatria mempersiapkan pasukan dan perbekalan mereka untuk melakukan perang dengan Mallrise yang datang menyerang terlebih dahulu Allieru. Istana menjadi sangat sibuk, dan aku hanya bisa diam berdiri di dekat lapangan utama tanpa membantu persiapan para ksatria.
"Apa Nona masih mau menunggu di sini?"
"Ya, sebentar lagi semua pasukan akan pergi. Bukankah aku harus ikut melepas mereka pergi?"
"Tapi Nona—"
Dengan cepat aku memotong kalimat Mai, seperti sudah mengetahui apa yang akan dia katakan, "tenang Mai, aku tidak berniat memperlihatkan wajahku secara nyata kepada orang lain. Aku hanya ingin menyaksikan para pasukan pergi, serta berbicara sedikit dengan kaisar."
"Kalau begitu, bersediakah Nona saya temani sampai para ksatria keluar?"
Aku melirik Mai, wajahnya menampakkan niat baiknya padaku. "Tentu saja, temani aku sebentar lagi."
Akhirnya kami berdua diam, Mai tidak mengajakku bicara setelah itu. Dia hanya diam di sisi tembok yang lain, yang jika aku melirik sedikit maka lengan kiri dan pakaiannya akan jelas terlihat. Aku tidak enak melihatnya, nampan dan gelas tadi masih ada padanya, dia tidak menaruhnya terlebih dahulu.
"Mai, lebih baik simpan dulu."
Mai tersentak, seperti sedang dalam lamunan, "ah, benar juga. Saya permisi sebentar Nona."
Mai sedikit berlari dengan nampan ditangannya, aku sendiri sekarang.
"Haaah..." kupikir memang lebih baik begini. Mai terlalu memusatkan perhatiannya padaku, meskipun memang karena akulah 'tuan' yang harus dilayani olehnya, tapi terkadang aku merasa ada alasan lain Mai memperlakukanku seperti itu.
Aku jadi berpikir, apa aku terlalu bersenang-senang di dunia ini? Apa rasa egois terlalu memenuhi diriku? Apa aku terlalu merasa nyaman? Semua hal yang diberikan kepadaku di dunia ini seakan hanya memanjakanku. Tidak, aku tidak boleh merasa seperti ini. Apa artinya sebuah hukuman untukku?
Aku memegangi kepalaku, bukan rasa pusing menyengat yang aku rasakan, pikiranku sedikit kacau, dadaku terasa sakit. Aku bingung.
Ada rasa ragu terselip di pikiranku. Jalan yang akan kutempuh seharusnya benar sepenuhnya, tapi ada hal mengganjal yang tidak aku mengerti.
"Hm," para kesatria mulai keluar dari lapangan utama, mereka bergerak dengan rapih dan teratur. Regu yang membawa pedang terlebih dulu keluar, di sana aku melihat laki-laki berambut hitam yang kumal itu (sekarang sudah tidak terlalu kumal, mungkin karena pakaian perangnya) keluar dengan sebuah pedang silver di sisi kiri pinggangnya. Mungkin karena aku menatapnya terus-menerus, dia jadi sadar lalu melirikkan matanya kepadaku. Mata kami bertemu. Dia menghentikan langkahnya, dan beralih melangkah mendekatiku. Aku mengakui kemampuannya untuk merasakan kehadiranku.
Aku langsung memeriksa pakaianku, untunglah aku masih mengenakan pakaian tidur.
Sebelum dia sampai tepat di hadapanku, dia bertanya, "kenapa kau ada di sini? Kau tidak tidur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Until I Die
FantasíaSepasang tangan mungil terlihat di depan mataku saat aku terbangun. Ketika aku menatap cermin, wajahnya yang cantik terlihat menawan. Apridete Courdesse, aku masuk ke dalam tubuhnya, seorang putri kekaisaran yang menjadi pemeran sampingan dari sebua...